Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belahan Jiwa Usah Bersedih

18 Januari 2022   19:46 Diperbarui: 18 Januari 2022   20:07 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Belahan Jiwa Usah Bersedih| foto: yildiz/Pinterest

"Tapi ini sudah terlalu lama. Sudah hampir dua tahun anak-anak kita tak pulang. Aku takut mereka lupa seperti apa bau ibunya..." katamu sambil melepaskan genggaman tangan, berbalik menatap daun-daun kering.

"Aku juga rindu mereka," kataku. "Akhir-akhir ini aku tak nyenyak tidur, karena merindukan pelukan mereka, ingin makan kapurung bersama anak-anak kita..."

Belahan jiwa tak bergeming. Matanya menjadi danau, seakan bertambah luka mendengar kenangan ini.

Anak kita memang perempuan. Tapi aku tidak memperlakukannya seperti gadis di dusun pala. Aku tidak ingin dia cepat menjadi ibu, lalu mengurus kebun pala. 

Aku adalah ayah yang ingin anak-anaknya mengangkat derajat keluarga, walau kita berdua harus dibunuh sepi. 

Nenek moyang sudah mewariskan tradisi ini. Kita selalu diberi makan kebun pala. Tapi sampai kapan?

"Seharusnya kita tak membiarkan mereka pergi jauh," keluhmu. "Sekarang ada pandemi yang menunda semua penerbangan, memisahkan kita dan anak-anak kita..." katamu dengan suara bergetar.

Kau menangis. Aku tahu, kau pasti menyesali keputusan kita dulu. Mengizinkan anak-anak menyambut masa depannya. Dan menerima semua perkataan orang.

Tanah hitam yang subur, datang dari letusan gunung api, kita dianggap mengkhianati. Tak berbakti, pada bumi kita sendiri.

Apalagi sekarang, virus corona mematikan. Mereka masih berkumpul dengan anak-anak sambil menggendong cucu. Sementara kita harus mendengar ocehan sumbang.

"Kita jalan-jalan ya," bujukku. Wajah paruh baya berbinar, mengalahkan sinar dari celah pohon. Anggun tanpa pernah pudar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun