Mereka enam bersaudara, semuanya perempuan. Ibu, anak kedua di antara mereka. Berarti ibu mempunyai empat orang adik.
Pada zaman itu, sekitar tahun 60-an, keadaan masyarakat tak terlalu enak, kata ibu.Â
Sebagai anak petani, ibu dan saudara tuanya tak berkesempatan mengenyam pendidikan formal sampai ke jenjang berikutnya.Â
Namun begitu, bagiku ibu tak kalah dengan wanita hebat di luar sana.Â
Ibu berkata bahwa, tidak mencemburui adik-adiknya yang lahir saat ekonomi mulai membaik, sebagai bakti kepada orang tuanya.Â
Dengan menciptakan suasana persaudaraan yang rukun dan damai, akan memperpanjang usia orang tua.Â
Dan lagi suatu hari nanti, akan ikut merasa bangga saat adik-adiknya menjadi orang sukses serta mengangkat derajad dan martabat orang tua.Â
Inilah pelajaran kedua yang diturunkan ibu kepadaku, dari sepotong kisah keluarga mereka. Sebuah pelajaran yang sangat bernilai, bagaimana ibu sudah menjadi tempatku menimba ilmu yang pertama.
Tahun demi tahun berjalan lambat. Aku tumbuh menjadi remaja yang mempunyai sedikit sekali kesempatan berbincang dengan ibu, karena ibu masih terus bekerja sampai aku menamatkan sekolah lanjutan atas, bahkan sampai adik menyelesaikan kuliahnya.
Ada selaksa rasa kecewa dan kehilangan yang kurasakan, saat ibu-ibu lainnya bisa menghabiskan waktu dengan putrinya masing-masing, tetapi aku justru harus menghabiskan waktu dalam kesendirian di rumah.Â
Aku harus puas hanya dengan sebuah hari libur, sekali dalam seminggu. Toh ibu bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami sekeluarga.