Di tengah gempuran arus globalisasi, industri halal muncul sebagai salah satu sektor ekonomi yang tumbuh paling pesat di dunia. Fenomena ini tidak hanya menyangkut makanan dan minuman, tetapi juga mencakup pariwisata, fesyen, kosmetik, farmasi, hingga keuangan syariah. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, tentu memiliki posisi strategis dalam industri ini. Namun, apakah globalisasi lebih banyak menjadi peluang atau ancaman bagi perkembangan industri halal di tanah air?
Industri halal global menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dengan nilai belanja konsumen Muslim mencapai USD 2,29 triliun pada tahun 2023, berdasarkan laporan State of the Global Islamic Economy oleh Dinar Standard. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia sekitar 242 juta jiwa atau 87% dari total penduduk (BPS, 2023), sebenarnya memiliki potensi besar untuk memimpin industri halal global. Namun, Indonesia justru berada di peringkat ke-4 dalam Global Islamic Economy Indicator 2023, di bawah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, menandakan masih adanya kesenjangan antara potensi dan realisasi. Di sektor makanan halal, Indonesia bahkan masih mengimpor sebagian bahan baku dari luar negeri, meskipun konsumsi domestiknya diperkirakan mencapai Rp 1.300 triliun per tahun (KNEKS, 2022). Selain itu, lebih dari 80% UMKM di Indonesia belum memiliki sertifikat halal (BPJPH, 2023), padahal mereka merupakan ujung tombak rantai pasok produk halal. Dari sisi pembiayaan, penetrasi keuangan syariah di Indonesia baru menyentuh 10,94% dari total industri keuangan nasional (OJK, 2023), menunjukkan bahwa dukungan sistemik terhadap industri halal masih terbatas.
Globalisasi telah memperluas cakrawala konsumen Muslim dunia. Kesadaran terhadap kehalalan produk tidak lagi sebatas norma agama, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai etika, keamanan, dan keberlanjutan. Fenomena ini mendorong negara-negara non-Muslim seperti Korea Selatan dan Jepang untuk mengembangkan lini produk halal demi meraih pasar Muslim global. Jepang, misalnya, menyediakan lebih dari 500 restoran halal dan musala umum di tempat wisata utama untuk menyambut wisatawan Muslim, terutama dari Indonesia dan Malaysia (Japan National Tourism Organization, 2023).
Namun, Indonesia justru menghadapi tantangan internal dalam mengejar posisi sebagai produsen halal utama. Sertifikasi halal masih dianggap mahal dan rumit oleh banyak pelaku UMKM. Sebuah survei dari LPPOM MUI (2022) menunjukkan bahwa hanya 15% pelaku usaha kecil yang memahami prosedur sertifikasi halal secara lengkap. Padahal, berdasarkan UU No. 33 Tahun 2014, semua produk makanan dan minuman wajib bersertifikat halal paling lambat Oktober 2024. Keterlambatan dalam penyediaan infrastruktur dan edukasi publik berpotensi menciptakan hambatan baru di pasar domestik.
Meskipun demikian, peluang tetap terbuka lebar. Pemerintah telah mendirikan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan terus memperluas kerja sama dengan lembaga internasional, seperti halal authority di Malaysia, Singapura, dan Uni Emirat Arab. Di sisi lain, teknologi menjadi kunci penggerak baru. Penggunaan blockchain dan artificial intelligence (AI) mulai diterapkan dalam sistem halal traceability, yang membantu memastikan produk halal dari hulu ke hilir lebih transparan dan efisien.
Selain dukungan kebijakan dan teknologi, generasi muda menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan. Survei Alvara Research (2023) menunjukkan bahwa 74% milenial Muslim Indonesia menyatakan lebih percaya pada produk yang bersertifikat halal dan berasal dari produsen lokal. Hal ini menjadi potensi besar bagi tumbuhnya startup halal lifestyle, seperti aplikasi pencari makanan halal, travel planner syariah, atau e-commerce khusus produk halal. Perpaduan antara nilai keislaman, kreativitas digital, dan semangat wirausaha ini menciptakan bentuk ekonomi baru yang inklusif dan berdaya saing global.
Globalisasi adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Namun, dengan strategi yang tepat, Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga memimpin. Kuncinya ada pada peningkatan daya saing produk halal lokal, kolaborasi lintas sektor, dan penguatan kapasitas riset serta inovasi halal berbasis teknologi. Indonesia sudah memiliki modal demografi, budaya, dan spiritualitas yang kuat kini saatnya menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI