Mohon tunggu...
Ayik Teteki
Ayik Teteki Mohon Tunggu... Freelancer - Gubug Wening

manusia biasa yang tak sempurna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perayaan Kurban Kegembiraan Berbagi

12 September 2017   00:12 Diperbarui: 12 September 2017   00:17 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memotong daging hewan kurban sebelum dibagi-bagikan, di Ponpes Waria Al-Fattah, Kotagede, Yogyakarta, Minggu (3/ 09/ 2017). Ayik Teteki

Hari Minggu pagi yang sepi bersama 'Mas Gojeg', saya menyusuri lorong kampung Celenan, Kelurahan Jagalan, Kotagede, Yogyakarta. Kami mencari sebuah tempat di mana saya akan  akan menghadiri perayaan Idul  Kurban. Rasanya seperti berada dalam suatu labirin karena gang-gang yang sempit, berhimpitan dengan tembok-tembok rumah. Beberapa kali kami menemui jalan buntu ketika menyusuri jalan-jalan itu untuk mencari Pondok Pesantren Waria Al-Fattah.

Setelah mendapat petunjuk dari seorang tukang cukur bahwa tempat yang saya cari sudah dekat, saya putuskan untuk mencari tempat tersebut dengan jalan kaki. Saya bergegas sebelum pukul 10.00 WIB harus sudah tiba di tempat tujuan karena tidak ingin melewatkan momen penting dan sekaligus menjalankan tugas dari seorang teman, yaitu mengambil foto hewan kurban sebelum disembelih. Tugas ini membawa sedikit pergumulan dalam batin saya, karena biasanya saya akan memilih menghindari tempat-tempat yang akan digunakan untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.

 Hari itu di Ponpes Waria Al-Fattah akan mengadakan perayaan kurban. Mereka melakukannnya setelah 2 hari dari hari Idul Adha atau tepatnya tanggal 12 Dzuhijjah. Upacara pemotongan atau penyembelihan hewan kurban dapat dilaksanakan sampai tiga hari sesudahnya, yaitu tanggal 11 sampai 13 Dzulhijjah menurut penanggalan Islam. Perayaan kurban di ponpes ini memang seperti biasanya akan diadakan selang dua atau tiga hari setelahnya tanggal Idul Adha karena pada tanggal sebelumnya penghuni ponpes dan para undangan ada kegiatan di tempat lain.

"Assalamu'alaikum .... Pak, apakah benar ini ponpes Al-Fattah?",sapa saya sekaligus bertanya pada seorang bapak paruh baya yang sedang duduk -- duduk santai sambil merokok di teras rumah.

Jawabannya yang singkat menegaskan bahwa saya telah berada di tempat yang tepat, Ponpes Waria Al-Fatah. Beruntung saya bertemu malaikat kecil yang sedang bermain bola yang menunjukkan saya ponpes ini. Dia mengarahkan saya pada sebuah pintu yang sedikit terbuka di lorong tembok tidak jauh dari tempat saya berdiri. Rupanya saya masuk melalui pintu belakang ponpes karenanya bapak tadi selanjutnya mempersilakan saya menuju rumah depan.

Ponpes Waria Al-Fattah adalah satu-satunya (saat ini) ponpes untuk waria yang ada di Indonesia, yang resmi didirikan pada tanggal 8 Juli 2008. Sebagaimana diceritakan sendiri oleh Shinta Ratri, pimpinan Ponpes Waria Al-Fattah, ponpes ini dibangun  untuk memenuhi kebutuhan rekan-rekan waria dalam membangun kehidupan spiritual mereka. Waktu itu Shinta Ratri bersama alm. Maryani berinisiatif untuk mengumpulkan dan mengundang rekan-rekan waria menghadiri pengajian. Setelah beberapakali pertemuan pengajian, atas ide  Kyai Abdul Muhaimin, yang selama itu mendampingi pengajian-pengajian mereka, maka didirikanlah Ponpes Waria Al-Fattah ini.

Ponpes ini menempati rumah Shinta Ratri, peninggalan dari neneknya, untuk kegiatan-kegiatan mereka seperti diskusi, pengajian, tadarus, dll. Rumah sederhana khas rumah tradisional Jawa berbentuk limasan dengan beberapa ornamen interior rumah yang mengingatkan pada masa puluhan tahun yang lalu. Shinta memindahkan kegiatan-kegiatan ponpes ke rumahnya setelah meninggalnya Maryani yang dulu menjadikan rumahnya di Nologaten, Gedongtengen, Yogyakarta,  untuk kegiatan ponpes sejak awal didirikannya. Banyak orang tidak menyangka bahwa rumah yang bersahaja ini adalah sebuah ponpes tempat waria menimba dan membangun kehidupan spiritualnya.

Tahun 2016, ponpes Waria Al-Fattah ini pernah didatangi puluhan orang yang mendesak menutupan ponpes ini dengan berbagai alasan. Setelah melalui pendekatan ke beberapa pihak dan advokasi dari rekan-rekan jaringan, ponpes dapat menjalankan kegiatannya kembali sampai saat ini.

Rumah ini sudah ditata rapi untuk sebuah acara; minuman teh manis hangat dan kue-kue sudah tersedia,  karpet dan tikar sudah terhampar di lantai rumah. Ya, untuk keperluan perayaan kurban semuanya sudah dipersiapkan dalam kesederhanaan. Mbak Nur, demikian kami menyapanya, salah seorang waria yang juga tinggal di ponpes itu, telah memasak sup ayam yang sedap dan krecek, salah satu sayur khas Yogyakarta.

Sembari menunggu rekan-rekan dari jaringan lain yang juga akan datang ke perayaan Idul Kurban di tempat ini, saya minta tolong YS  (Yuni Shara) untuk menulis 2 nama pada 2 lembar kertas HVS yang saya bawa. Selanjutnya saya minta tolong YS dan Shinta Ratri untuk masing-masing membawa kertas bertuliskan nama-nama tersebut untuk saya ambil potretnya bersama dengan satu hewan kurban. Setiap nama untuk satu hewan kurban. YS tampak sangat antusias dan sigap melompat mendekati domba-domba kurban yang akan difoto.

Tidak lama kemudian datang Nyai Muhaimin bersama beberapa santri putri dari Pondok Pesantren Putri Nur Ummahat. Beliau yang memimpin ibadah penyembelihan hewan kurban; berdoa sesuai tata cara yang sudah disyariatkan oleh Rasulullah agar kurban sembelihan sah dan diterima oleh Allah. 

Dari ruang dalam saya mendengar doa dan alunan lirih takbir mengiringi upacara penyembelihan terhadap hewan-hewan kurban tersebut.

Upacara singkat ini dilanjutkan dengan memotong-motong daging kurban untuk sebagian dibagi-bagikan dan sebagian lagi disantap bersama-sama. Rekan-rekan lain yang turut hadir dalam acara ini ada dari  PKBI DIY, anak-anak muda lintas iman ANBTI Yogyakarta, dan beberapa rekan dari jaringan lain turut larut dalam perayaan Idul Adha siang itu. Suasana sedikit ramai, semua jadi sibuk untuk ambil bagian mempersiapkan santapan sate domba; memotong dagingnya, membuat bumbu, dan menyiapkan tempat membakarnya berikut arang dan apinya. Setiap yang hadir 'berkurban' dengan ikhlas untuk menyelesaikan tugas dan peran masing-masing sehingga sate domba dapat dihidangkan dan disantap bersama-sama.

            Salah seorang tamu yang hadir, Ade, perpendapat bahwa setiap kegiatan punya makna. Kegiatan semacam ini, merayakan Idul Kurban bersama-sama dengan rekan-rekan lain dari berbagai latar belakang agama, etnis atau pun jender membangkitkan semangat kebersamaan.

"Bagi saya kegiatan semacam ini bukan hanya kegiatan seremonial. Artinya, saya percaya bahwa setiap kegiatan punya makna. Kegiatan semacam ini, kegiatan yang dihadiri teman-teman dari berbagai golongan, tidak hanya latar belakang agama tapi juga jender, itu bagi saya membangkitkan semangat kebersamaan. ", kata mahasiswa UIN jurusan Ekonomi Keuangan yang juga relawan ANBTI Yogyakarta.

Berdoa bersama sebelum membuat sate daging domba untuk santapan bersama di Ponpes Waria Al-Fattah, Kotagede, Ygyakarta, Minggu (3/ 09/ 2017). Ayik Teteki
Berdoa bersama sebelum membuat sate daging domba untuk santapan bersama di Ponpes Waria Al-Fattah, Kotagede, Ygyakarta, Minggu (3/ 09/ 2017). Ayik Teteki
Berkurban adalah Berbagi

Hak untuk beribadah adalah hak yang melekat pada setiap  manusia sejak kelahirannya tidak memandang manusia itu waria atau bukan. Dengan demikian, sebagai kelompok yang seringkali dipinggirkan dalam struktur sosial masyarakat, perayaan kurban  bagi kaum waria dalam satu komunitas memberikan dukungan moril dan spiritual. Apalagi dengan kehadiran rekan-rekan dari jaringan lain yang selama ini bersama-sama membantu perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara dan juga sebagai manusia. Perayaan Idul Kurban yang sederhana ini memberi makna atas pengakuan keberadaan mereka sebagai bagian dari masyarakat.

Shinta Ratri memaknai perayaan Idul Kurban ini sebagai kesempatan untuk  melakukan tindakan berkorban dan berbagi bagi orang lain.

"Ya....pengorbanan dan berbagi.. dalam kesederhanaan komunitas waria ini kita masih bisa berbagi buat sesama.", ungkapnya singkat.

Meskipun sebagian (besar) masyarakat masih mengabaikan kehadiran kaum waria, mengabaikan hak-hak mereka, melekatkan mereka dengan berbagai stigma negatif yang tidak adil,  namun mereka adalah bagian dari seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini, di negara ini. Mereka pun ingin melakukan tindakan-tindakan baik yang berguna bagi orang lain. Karenanya, mengabaikan keberadaan meraka dengan membatasi hak-haknya sebagai umat dan manusia adalah sama halnya menyobek bagian dari bangsa ini. Perayaan kurban adalah perayaan untuk berbagi bagi siapa pun yang mau menerima perbedaan dengan tulus ikhlas. Sebagaimana ketulusan dan keikhlasan ini telah diteladankan oleh Nabi Ibrahim ketika Allah menghendaki anaknya menjadi kurban silih. (at)

==0==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun