Mohon tunggu...
Ayid Suyitno
Ayid Suyitno Mohon Tunggu... -

Lebih 100 media memuat tulisannya. Lebih 100 lainnya menjadi Donor Darah di PMI Kramat, Jakarta Pusat. Pernah menjadi guru dan dosen.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Seni Membangkitkan Semangat dan Harga Diri Anak Perempuanku

27 Juli 2017   11:12 Diperbarui: 27 Juli 2017   11:56 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

BICARA soal pentingnya seni bagi kehidupan bagi aku bukan hal aneh. Sejak kecil, hasrat dan kemampuanku dalam berseni-seni telah memberi banyak pada hidupku. Sedikit saja yang aku buka. Karena kemampuanku menulis karya kreatif seni seperti puisi, cerita pendek, cerita bersambung, esai, telah mengantarkanku pada pekerjaan yang aku tekuni dari sebelum lulus kuliah sampai kini, yakni wartawan.

Namun, bukan itu yang aku ceritakan di sini. Termasuk, bagaimana aku menuntun dan membangkitkan 'keberanian' banyak orang untuk menulis dan berkarya seni. Hingga di kemudian hari mereka punya nama di bidang seni.

Aku hanya ingin menulis tentang sekelumit cerita tentang anak keduaku, perempuan. Ia siswa kelas 5 SD (kini). Ia di sekolah dikenal sebagai anak yang pendiam. Aku tidak mengatakannya introvert, mengingat di rumah ia bisa bercocoetan seperti halnya burung beo. Bahkan, dalam beberapa kesempatan tertentu ia jago debat dan men-smes -- jika diibaratkan permainan bulutangkis atau yang tergolong kelompok olahraga net alias pakai jaring -- untuk kami (Papa, Mama, dan Masnya) menjadi KO (Knock Out) atau tak berkutik.

Guru kelasnya yang penuh perhatian dan kasih sayang sampai mengajak diskusi aku, bagaimana caranya agar anak wedokku bisa ngomong di kelas? Akhirnya kami mencoba dengan cara masing-masing. Alhamdulilah seiring dengan ketekunan dan kesabarannya Bu Guru Kelas itu menyatakan anakku bisa 'bunyi', bahkan mau bernyanyi. Meski sikap pendiamnya tak sudah. 

Aku senang dan berterimakasih pada Guru Kelas itu atas usahanya membuat anakku memperdengarkan suaranya. Sekaligus tertantang untuk bisa berbuat hal yang sama -- dalam porsi berbeda -- seperti yang dilakukan Si Guru.

Aku ingat di rumah sedang asyiknya mengaransemen puisi-puisi Syair Syiar untuk dimusikalisasi. Penggagas jenis puisi baru ini adalah Anton De Sumartana, planolog dengan segudang kegiatan yang kini tinggal di Bogor, Jawa Barat. Aku sudah minta izin Pak Anton, aku memanggilnya, untuk membuat karyanya itu menjadi lebih musikal. Ia setuju.

Hampir setiap hari aku rengeng-rengeng sambil mencatat ini dan itu untuk 'kesempurnaan' musikalisasi yang aku buat. Dari pendekatan pada teksnya, mencoba-coba iramanya, untuk akhirnya menemukan karakter lagu yang pas -- sebatas yang aku pahami dan mampu. Pendek kata, aku bisa menyelesaikan dua lagu dari buku kumpulan puisi Anton itu.   

Siapa sangka, rengeng-rengeng-ku itu menarik perhatian keluargaku: istri, anak pertamaku (lanang), dan si pendiam. Meski si cewek kecil ini lebih tertarik, mengingat ia memang mengaku dekat denganku. Dalam ilmu jiwa dan pendidikan itu sebetulnya hal biasa bahwa anak perempuan lebih dekat dengan bapaknya, sementara anak lelaki lebih dekat dengan ibunya. 

Aku kemudian seperti terinspirasi untuk membuatnya bisa menyanyikan musikalisasi syair itu. Saat bujukan bertubi-tubiku datang bahwa aku akan mengajaknya menyanyi saat aku dapat tawaran pentas. Atau jika ia mau aku akan minta kesempatan pada banyak kawan yang menggelar acara baca puisi. Ia menyatakan kesediaannya tampil jika benar aku mengajaknya.

Alhamdulilah. Seorang sahabat penyair wanita memintaku membantunya menjadi panitia untuk pentas Memo Penyair di Gedung DPR-MPR, tepatnya di Perpustakaan MPR. Mumpung sempat aku mengiyakan permintaannya. Ini seperti pucuk dicinta ulam tiba. Saat aku butuh 'ruang dan tempat' untuk si perempuan kecil itu datang kesempatan untuk bisa tampil. Siapa yang tidak senang?

Secara serius aku lontarkan kemungkinan anak keduaku itu tampil di acara baca puisi itu padanya, Mamanya, dan anak pertamaku. Mereka setuju. Namun, si bocah wanita itu minta syarat: harus ditemani Papa! Hal yang harus aku setujui, mengingat kedua orang lain dalam rumah kami itu sangat mendukung keinginannya.

Kami berembug. Sepakat. Kami akan mengambil jalan pintas. Kami putuskan di tempat acara itu aku dan anak wedokku tidak bermusikalisasi puisi, namun sekadar baca puisi, meski aku akan melantunkan puisi itu -- tanpa iringan musik -- pada bait terakhir syair itu.

Nyaris setiap hari kami berlatih. Sampai tiba saatnya acara itu tiba. Aku yang sedikit membantu cawe-cawe sebagai panitia meminta 'jatah' untuk membaca puisi seperti halnya kawan-kawan penyair yang sudah terlebih dulu tampil. Setelah sedikit kasak-kusuk untuk menentukan kapan waktu bacanya dan habis siapa, aku kembali dari pengatur jadwal dan pembawa acara ke keluargaku yang ikut ke acara itu. Ke Gedung DPR-MPR, kapan lagi? Jika tidak ada acara seperti ini untuk keperluan apa datang ke gedung terhormat itu!

Pandangan siapa takut ternyata dimiliki anak perempuanku itu. Diyakinkan Mamanya yang siap memberi aplaus meriah dan  Masnya yang siap memotret, anak kelas 5 SD siap tampil. Tentu, aku yang terlebih dulu dipanggil si pembawa acara karena yang ia tahu aku yang akan membca puisi. Namun, aku membuatnya terkejut dan sengaja mengejutkan. Saat aku tampil di depan podium, aku tidak langsung membacakan puisi, melainkan ngomong sebagai sedikit pengantar bahwa aku akan baca puisi bersama anak perempuanku. Aku panggillah ia. 

Aku menyambutnya yang berjalan ke arah podium. Secara berduet aku membacakan 'Syair Syiar' Pak Anton. Lancar. Meski sempat tersendat di awalnya karena ia sempat ragu membuka suaranya. Secara keseluruhan aku menilai penampilannya sukses. Jadi, tidak penting lagi, apakah duet baca puisi ini mengejutkan apa tidak? Mendapat banyak keplok tangan apa tidak? Atau dinilai oleh audiens yang sebagian aku kenal sebagai apa? Terserah. Bagiku aku sudah berhasil membawa semangat dan harga diri anakku melalui Seni. 

Si bocah mengaplod foto kami di media sosial di mana ia menjadi anggota. Dengan mendapat tanggapan yang pada umumnya positif. Tentu, si ibu guru tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Ia memberi like. Padahal, sehari sebelumnya anakku sudah minta izin untuk ikut Papanya baca puisi, meski tidak bilang di mana. 

Keesokan harinya si ibu guru memanggil maju anakku ke meja di mana ia duduk untuk menanyakan segala sesuatu tentang baca puisi itu saat kelas baru mau dimulai. Cah wedokku menjawab dan bahkan mau saat disuruh memperagakannya di depan kelas di hadapan para temannya. Menurut ia sih ia membaca utuh, termasuk yang sebenarnya menjadi porsiku di acara sebelumnya. 

Saat aku bertemu si ibu guru, cerita anak perempuanku naik mimbar di gedung 'wakil rakyat' menjadi topik hangat. Dalam tahap sederhana kami sama menilai bahwa lewat seni seseorang bisa menjadi 'berbeda' lebih baik dari sebelumnya. 

Wajar jika anakku kembali dimintanya membaca puisi. Kali ini, ya sendiri saat Persami (PERkemahan SAbtu MInggu) digelar di halaman luas sekolahnya. Ia akan mewakili kelasnya berkiprah seni. Ah... anakku setuju, meski dengan catatan kepada Papanya. Puisi yang nanti dibacakannya harus baru. Tidak mau jika seperti yang pernah dibacakannya di Senayan tersebut.

Aku asyik-asyik saja. Bagiku itu soal mudah. Aku carikan puisi yang pendek biar ia mudah menghapal. Kebetulan Persami itu diadakan jelang Ramadan, maka aku memberikannya puisi tentang menyambut Ramadan. Ia menerimanya. Ia kemudian mempelajarinya. Untuk kemudian dengan mulus menampilkannya di acara itu, mewakili kelasnya. Aku dan Masnya melihat sendiri bagaimana ia dengan pede (percaya diri) membaca karyaku itu. Peristiwa luar biasa ini (ikut Persami dan baca puisi di kegiatan itu) pastinya diceritakan pada kami.

Aku tidak berani menyatakan ada perubahan mencolok dari anakku setelah berkiprah di seni baca puisi itu. Namun, pengalaman ini membuatku berusaha lebih kreatif untuk menggali potensinya di bidang seni biar ia bisa lebih alamiah sebagai dirinya sendiri. 

Anak wedokku kini sedang rajin melukis. Meski aku tidak pandai dengan seni yang satu ini, aku (tentu saja Mama dan Masnya) terus menyemangatinya. Aku bercerita soal pelukis legendaris Jeihan yang sahabat Pak Anton dan Jeihan yang tinggal di Bandung ini memang bisa melulu hidup dari lukisannya. Aku mengajarinya untuk mencantumkan tanggal pembuatan dan tanda tangannya pada lukisan-lukisan yang entah bagaimana kualitasnya. Namun, seperti halnya Pak Tino Sidin (pengajar lukis di TVRI, dulu) aku selalu mengatakan 'bagus' dan mengacungkan jempol untuk karya lukisnya yang ditunjukannya padaku.          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun