Mohon tunggu...
Ananda Cahaya Ramadhani
Ananda Cahaya Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Buku adalah jendela ilmu

Selanjutnya

Tutup

Nature

Speak for The Species: Lahan Hilang, Harimau Datang

2 Oktober 2025   21:44 Diperbarui: 3 Oktober 2025   00:57 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

“…

Harimau itu menatap perut.

Malang betul nasibnya, barangkali hutan kehabisan pangan untuk menghidupi si ibu dan ketiga anaknya. Kini ia tunggang langgang di kebun, jadi pengemis di kaki gunung.

…”

Puisi Para Tamu karya Ananda Cahaya

Di tengah rimbunnya hutan Sumatra yang dipenuhi oleh bising alat berat dan diseraki gelondong kayu tak bertuan, seekor kucing besar berjalan dengan langkah sunyi. Predikat raja hutan tak sekonyong tersemat begitu saja, harimau dikenal sebagai satwa yang soliter dan sangat teritorial, ia juga jadi pemangsa puncak di rantai makan-memakan hutan Sumatra. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae)—begitu cara manusia memberinya nama—biasanya akan memangsa rusa, babi hutan, kijang, atau satwa lain dengan serangan cepat dan mematikan. 

Namun, seluas mata memandang dan semakin jauh langkah berjalan, tak ia temukan bau-bau mangsa berada di dekatnya. Hanya tegakan-tegakan seragam terlihat dengan tajuk bak payung yang tak terasa seperti rumah. Inilah deforestasi yang dilakukan oleh manusia. Deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit yang menjadi faktor utama hilangnya rimba, rumah untuk segala jenis satwa. 

Sejak tahun 2002 — 2020, Indonesia telah kehilangan 9,75 juta hektare hutan perawan. Manusia menjamahnya dengan tangan-tangan kotor tanpa sebersit rasa bersalah. Sebaliknya, mereka tertawa bungah setelah mengorbankan pusaka yang berharga, barang paling langka di angkasa raya; gelondong-gelondong kayu. 

Provinsi Riau yang berada di Pulau Sumatera menjadi wilayah yang kehilangan hutan paling besar, yaitu sebesar 3,9 juta hektare (Mashita Nisa Insania Fathoni, 2025). Hal tersebutlah yang memperpendek jarak antara harimau sumatra dan manusia sehingga terjadi persinggungan yang terkadang tidak diharapkan. Semenjak harimau tak dapat lagi menemukan satwa buruan yang biasanya tersaji di ruas-ruas hutan, ia bergerak jauh dalam kelaparan. Perjalanan panjang itu menghantarkannya pada sebuah tanah lapang tempat Homo sapien mencari pundi-pundi rupiah. Matanya kian tajam, ia jadikan makhluk-makhluk yang tak berdaya itu sebagai sumber makanan baru. 

Data menunjukkan bahwa konflik harimau-manusia di Sumatra terus meningkat. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari 300 kasus tercatat, mulai dari serangan terhadap ternak, masuknya harimau ke desa, hingga korban jiwa manusia (Wibisono et al., 2011; Loveridge et al., 2022).

Pulau Sumatera bukanlah satu-satunya tempat yang memiliki satwa endemik harimau pada masa lampau. Nusantara pernah memiliki tiga spesies harimau, mereka memiliki ukuran yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan spesies harimau dari belahan bumi lain. Bali pernah memiliki harimau bali (Panthera tigris balica) yang punah pada tahun 1940-an, sementara Jawa memiliki harimau jawa (Panthera tigris sondaica) yang lenyap pada 1980-an. 

Keduanya punah karena fragmentasi hutan dan pembukaan lahan secara besar-besaran sejak masa kolonial untuk perkebunan tebu, kopi, hingga karet (Seidensticker, 1987). 

Tersua perbedaan pandangan antara pribumi Sumatra dan Jawa dalam memandang harimau dalam kehidupan sehari-hari mereka. Di Jawa, aktivitas perburuan terlampau sering dilakukan oleh para pemimpin Jawa sejak jaman kerajaan Hindu-Buddha hingga eksistensinya digantikan kerajaan bercorak Islam. Hal inilah yang menjadi penyebab kepunahan harimau endemik di Pulau Jawa. Pada tahun 1620, Sultan Agung pernah memerintahkan kaki-tangannya untuk menangkap ratusan ekor harimau jawa sebagai pelakon dalam mega acara Rampok Macan

 Gelaran itu punya dua agenda menarik, biasanya acara pertama mempertontonkan konflik antara harimau dan banteng/kerbau di tengah alun-alun kota. Bentrok tersebut menyimpan sebuah makna—persis seperti orang Jawa yang gemar menyimpan filosofi dalam gerak-gerik hidupnya—harimau melambangkan orang-orang Jawa, sedang banteng dianggap seperti para penjajah Belanda. Tak ayal beberapa orang menikmati pagelaran tersebut. Sedangkan acara yang kedua adalah pelepasan beberapa harimau ke tengah alun-alun, di sekeliling alun-alun akan berdiri barisan manusia yang membawa tombak untuk menghunus dan membunuh harimau-harimau tersebut. Rampok Macan sering dipersembahkan untuk menerima tamu; para kolonial. 

Bergerak ke pulau seberang; berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Pulau Jawa. Di Pulau Sumatra pada jaman kolonial, masyarakat sangat menghormati harimau. Mereka enggan memburunya meski kolonial Belanda telah menjanjikan arta pada sesiapa yang mampu memusnahkan kucing besar itu. Gerakan tersebut bukan sembarang sebab, alasannya ialah harimau sumatra telah memangsa banyak orang sehingga ia tak lagi dikenal sebagai kucing, melainkan monster yang jadi momok serius. Bahkan ada catatan yang menyebutkan bahwa kucing loreng itu pernah memakan seisi desa. 

Namun, tak ada seorang pun yang memburu harimau meski sudah diiming-imingi hadiah, kepercaayaan mistik itu tetap mengakar kuat. Barangkali hal tersebutlah yang membuat harimau sumatra tetap lestari hingga hari ini. Kini, hutan Sumatra menjadi benteng terakhir untuk kehidupan alami harimau endemik. Akan tetapi, tingkat deforestasi yang makin tinggi jua menimbulkan kecemasan, seperti melihat film yang telah lama tayang. 

Dalam tiga dekade terakhir, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) telah mengorbankan lebih dari setengah tutupan hutan Sumatra (Gaveau et al., 2016). 

Bagi manusia, kebun sawit menjadi sumber penghidupan yang begitu menguntungkan, tapi bagi harimau, kebun sawit tak ubahnya lahan kosong. Hutan yang kian sempit, sedang kebun yang makin luas membuat harimau sumatra terdesak karena kekurangan mangsa sehingga ia menyusup ke tengah desa. 

Masyarakat lantas menyimpulkan bahwa sifat harimau berubah kian beringas bak makhluk ganas. Manusia kini menilai bahwa harimau adalah musuh mereka. Namun sebetulnya, bukan sifat dasar satwa itu yang berubah, melainkan strategi bertahan hidup harimau—yang tak punya pilihan lain—untuk memangsa hewan ternak, bahkan menyerang manusia. Solusinya tragis: diburu sampai habis (Linkie et al., 2003; Inskip & Zimmermann, 2009).

Untuk menyelamatkan harimau, pemerintah menetapkan kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan Selatan. Di sinilah populasi harimau sumatra terbesar masih bertahan (Wibisono & Pusparini, 2010). Salah satu solusi yang lebih baik adalah dengan membuat suaru area preservasi yang tetap terjaga dari jamahan manusia, dengan kata lain, tidak dialihfungsikan jadi pemukiman atau perkebunan. Namun rasa-rasanya, area preservasi tidak cukup untuk harimau sumatera menjelajah, padahal satu individu harimau sumatera membutuhkan ruang gerak lebih dari 6000 hektare. Maka dibangunlah koridor satwa yang berfungsi sebagai lalu lintas satwa liar—tak hanya harimau—untuk menjelajah antar provinsi sehingga harimau tak perlu melewati desa dan bersinggungan dengan warga. 

Apakah itu artinya keberadaan hutan yang dijaga tetap lestari, dikelola sepenuh hati, dan dijaga dari para tirani hanya difungsikan agar eksistensi satwa liar merasa memiliki rumah? Mengingat jumlah manusia yang semakin membludak, PBB memperkirakan 9,8 miliar manusia akan hidup di bumi yang sama pada tahun 2050 sehingga butuh tanah-tanah lapang untuk menopang hidup mereka dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong—hanya satu kata yang terlintas ketika mendengar kalimat itu; hutan. 

Fungsi hutan senyatanya memiliki manfaat yang lebih powerful. Menjadi rumah bagi satwa liar adalah salah satu dari banyaknya manfaat yang diberikan hutan. Hutan merawat hidup manusia, sama halnya seperti seorang ibu yang merawat kehidupan; air akan tetap mengalir, udara menjadi lebih segar segar, dan iklim global tetap terjaga. Artinya, manusia sangat bergantung terhadap kelestarian hutan. Namun, jika hutan fungsi hutan dipandang sebagai lahan kosong yang menguntungkan, maka nilai ekologisnya akan terlupakan.

Konfrontasi antara manusia dan harimau sumatra seakan jadi peringatan keras dari alam; ketika lahan hilang, maka harimau akan datang menagih semua yang hilang. Satu-satunya cara adalah dengan hidup berdampingan. Pemerintah dapat memperkuat zona konservasi, melakukan patroli anti-perburuan, membangun koridor satwa, dan sosialisasi mitigasi konflik yang melibatkan masyarakat setempat agar tidak melihat harimau sebagai musuh (Kusumawardhani et al., 2021). 

Harimau sumatra jadi simbol terakhir predator endemik di Nusantara. Pilihan ada di tangan kita; akankah kita melanjutkan cerita sejarah kejayaan harimau sumatra atau membiarkan sejarah lama terulang kembali?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun