Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetangga dari Tetanggaku yang Tetangganya Masih Berkutat Bagaimana Caranya Menaiki Tangga-Tangga

21 Juli 2025   21:14 Diperbarui: 21 Juli 2025   21:14 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku punya tetangga, X. Jarak dua rumah dari rumahnya ada tetangganya bernama X-2. Nah, X-2 ini yang akan menceritakan tetangganya, X-3, yang persis bersebelahan dinding dengan rumahnya. Supaya kamu nggak bingung memanggilnya, juga agar nggak dianggap ini rumus matematika, X-3 ini sebut saja Rakyat, atau nama agak panjang, Surakyat.

Kita mulai.

***

Pagi ini Surakyat menganggap hidupnya begitu asu. Bagaimana tidak. Saat ia akan keluar rumah untuk kegiatan rutinnya -- sebagai pengemudi ojek online -- terlihat ban sepeda motornya kempes, bocor. Sedang tempat tambal ban cukup jauh dari rumahnya. Cukup ngos-ngosan mendorong motor dalam keadaan ban kempes. Terlebih ia belum sarapan. Gas habis, demikian laporan istrinya subuh tadi. Sedang "APBN" (Anggaran Pendapatan Belanja Ngojek) sering tekor. Tapi seperti kata Bernadya, untungnya hidup harus tetap berjalan.

Surakyat mulai beroperasi dari sejak pagi hingga sesudah magrib. Tak jarang ia pulang ke rumah sudah larut malam. Di sela-sela menunggu pesanan ojeknya, Surakyat sering membuka portal-portal berita. Untuk menambah wawasan, juga agar tidak dibilang kudet (kurang update). Makanya sedikit banyaknya ia tahu perkembangan politik. Ia tahu Presiden Indonesia saat ini. Prabowo Subianto, bukan? (tolong koreksi kalau jawaban Surakyat salah).

Surakyat punya anak perempuan semata wayang, Gendhuk. Anaknya sudah kelas 3 SMA. Surakyat selalu memompakan semangat kepada anaknya, agar anaknya bercita-cita untuk sekolah setinggi mungkin. Untuk bercita-cita, setinggi apa pun, seaneh apa pun, tidak bayar. Mengapa pula harus bermimpi yang remeh-temeh, Surakyat mengutip ucapan seorang motivator, entah di mana entah siapa, ia lupa. Tapi tentu itu tidak berhenti hanya sampai di angan-angan. Makanya Surakyat sejak setahun -- bahkan dua tahun -- belakangan ini mulai berhemat-hemat, menabung untuk keperluan sekolah Gendhuk nanti.

Gendhuk sendiri terpacu untuk belajar lebih rajin, walaupun ia sendiri gamang: saat tiba nanti, saat kuliah, apakah orang tuanya cukup dana, atau malah terputus di tengah jalan. Agar cerita agak dramatis, mirip sinetron, Gendhuk lulus dari SMA dan kemudian ia diterima di salah satu universitas negeri.

Sebenarnya, dari sinilah pangkal cerita itu.

Surakyat dan istrinya tak bisa penuh meluapkan kegembiraan atas diterimanya Gendhuk di perguruan tinggi negeri. Apa pasal? Ini terkait biaya untuk keperluan Gendhuk. Memang jauh-jauh hari ia sudah menabung, yang diperkirakan cukuplah untuk biaya tahun pertama kalau Gendhuk kuliah. Tapi, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Tiga bulan lalu istri Surakyat dirawat di rumah sakit. Kalau ini cerita sinetron yang menguras air mata, istri Surakyat terkena penyakit (tinggal pilih): kanker otak, gagal ginjal, kecelakaan parah. Tapi apa penyakitnya? "Cuma kelelahan," Surakyat berkilah, tak mau menyebut penyakit istrinya.

Surakyat resah. Gendhuk gelisah. Apa nggak usah kuliah saja? Gendhuk setengah putus asa.
Jangan! Surakyat memberi semangat. Jalan pertama sudah terbuka, masak harus surut langkah? Ah, tak sia-sia Surakyat suka membaca. Kata-kata yang ia kutip setidaknya meredam kegelisahan anaknya, untuk sementara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun