Kamu tentu sudah akrab dengan kata pelembut (atau pemanis) seperti dong, deh, sih. Itu adalah bahasa ungkap sehari-hari orang Jakarte (atau Betawi).
Tak dapat dipungkiri, bahasa pergaulan anak Jakarta sudah "menjajah" bahasa percakapan remaja Indonesia (terutama yang berada di perkotaan). Bahkan orang-orang dewasa pun menggunakannya.
Gua (gue), lu, cewek, cowok, dan lain-lainnya itu sudah menjadi bahasa ucap yang umum bagi remaja. Kalau para remaja itu tinggal di sekitar Botabek (Bogor, Tangerang, Bekasi) mungkin masih dapat dimaklumi. Tapi bahasa anak Jakarta itu sudah merambah jauh, ratusan hingga ribuan kilometer. Juga melintasi pulau.
Juga ada kata-kata anak Jakarta yang juga sering dipakai. Seperti menghilangkan suku kata depan. Gini (begini), gitu (begitu), gimana (bagaimana). Dan mengganti akhiran "kan" menjadi "in".
Diapain (diapakan), lupain (lupakan), ngapain (mengapa), dan ... (silakan kamu menambahkan).
Ada juga yang tak sesuai dengan KBBI. Seperti kata kasih dan buat.
Kasih dalam bahasa Jakarta berarti "beri". Misal ada kalimat, "Kasihin buku ini ke dia. Beri buku ini ke dia."
Dan kata buat yang berarti "untuk". "Kembang ini buat lu. Kembang ini untukmu." Sedang kata "buat" sendiri orang Jakarta menyebutnya, bikin. Namun, di KBBI kata "buat" juga berarti bikin.
Jauh sebelum itu sudah ada kata-kata anak Jakarte yang menjadi bahasa sehari-hari, bahkan sudah masuk dalam KBBI. Seperti begadang, canda, asyik, santai (kini santai berkembang menjadi santuy).
Tak perlu diherani. Karena, memang, Jakarta adalah pusat segalanya. Dari pusat pemerintahan, ekonomi, budaya, gaya hidup, dan sebagainya. Jadi apa pun yang terjadi di Jakarta akan mudah ditiru orang-orang di daerah.
Ditambah, produk-produk hiburan semacam film, lagu, gaya berbusana menggunakan idiom-idiom khas Jakarte. Dan para remaja rasanya kurang "gaul" kalau tak menjakartakan diri. Makanya remaja-remaja di daerah bila mengunjungi daerah lain, Jakarta adalah tempat pertama yang "wajib" dikunjungi.
Monas, Pasti. Tambahkan Ancol, Taman Mini, gedung-gedung yang menonjok langit sepanjang Jalan Thamrin - Sudirman.
Belum dihitung kereta comutter line, bus TransJakarta ("Perhentian berikutnya, Harmoni. Perhatikan barang bawaan Anda. Hati-hati melangkah!"). Heh, kamu sudah merasakan sensasi kereta bawah tanah?
Dan 22 Juni kemarin adalah hari ulang tahun ke-495 Kota Jakarta. Bukan kota kemarin sore. Ia telah melewati sejarah yang panjang sebagai pusat perdagangan dan pusat kekuasaan. Menjadi titik temu dan pusat lebur dari berbagai bangsa dan suku-suku di Indonesia. Dari bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia (Betawi), dan kini Jakarta.
Ibu kota akan pindah? Nggak ngaruh. Jakarta masih tetap pusat putar segalanya.
Apalagi nanti di ibu kota baru akan ada bedol pegawai -- baik pemerintah maupun swasta -- dari Jakarta. Walaupun mereka datang dari berbagai suku di Indonesia, mereka akan membawa "kepongahan" sebagai anak Jakarte.
"Anda dari mana?"
"Dari Jakarte, Bang!"
***
Lebakwana, Juni 2022.
Catatan.
Artikel ini ditulis tidak dengan "memporakporandakan" perpustakaan, atau deret bacaan. Tidak juga dengan kajian linguistik yang njelimet. Ini hanya pandangan subjektif saya. Ada lubang-lubang. Silakan ditambal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI