Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Kerinduan Kepada Api

9 September 2019   09:18 Diperbarui: 9 September 2019   09:23 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pixabay.com. 

Tiba-tiba saja aku ingin menjadi api, mendahului matahari, membakar salju di kepalamu, hingga keinginan-keinginanmu tak lagi rekah, karena terlalu lama diusik oleh kemarau. Mengalir, membasahi angan-angan, menyatukan kembali keping-keping harapan, yang selama ini berlarian liar, tak punya kompas, tak ada juga pedoman 

Aku juga ingin menjadi api, membakar kepala-kepala yang dengan segala cara akan memenggal kepala yang lain. Kepala yang paling ditakuti, yang tangan kirinya membawa tara untuk menimbang, tangan kanannya membawa pedang, mencencang siapa yang lancung siapa yang lancang, tanpa mau diajak berbincang

Kepala-kepala yang menentukan suara, yang katanya mewakili suara-suara, tapi kini akan memancung sebuah suara yang tak sudi dihargai berapa 

Ke mana pula sembunyi api yang meledak-ledak. Atau, telah lupa cara menyalakannya, dilenakan dengan pamer sticker di kaca mobil pemberian bapaknya: We are yellow jackets. Atau sedang menghangatkan diri di balik punggung gajah, karena dinginnya tanah Parahiangan. Atau berasyik masyuk agar dosen killer jatuh hati di kampus biru

Tiba-tiba aku rindu menjadi api

***

Cilegon, 2019 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun