Semua orang tahu saya akan dipromosikan menjadi rektor universitas. Maksud saya, semua orang kecuali salah satu wakil rektor. Saya selalu tahu dia licik, tetapi tidak menyangka dia selicik itu.
Sejak itu, saya mengetahui secara rahasia bahwa dia menyetujui quid pro quo. Kalau seorang anggota dewan universitas yang berpengaruh mengubah deskripsi pekerjaan agar sesuai dengan bidang Wakil Rektor tersebut, dia akan setuju untuk mendukungnya sebagai dekan. Dan berhasil.
Dia menjadi rektor.
Tentu saja, saya sangat kecewa dan, oke, marah. Saya telah bekerja selama satu dekade untuk ini dan benar-benar lebih kompeten dari yang diperoleh sipenjilat itu.
Saya mulai berdamai dengan hal itu ketika, dalam tur ke Kebun Raya, pemandu wisata menyebutkan bahwa racun mematikan risin dibuat dari tanaman jarak, yang ditunjuknya. Saya menyelipkan beberapa lembar daun ke dalam saku dan mencari di Google cara membuat risin dari daun jarak.
Saya berencana, saat makan siang dewan universitas berikutnya, diam-diam memasukkan sedikit ke dalam kuah sotonya, tetapi saya mengurungkan niat.
Alih-alih, saya menggunakan Google Search dan ChatGPT untuk mengidentifikasi kutipan yang setidaknya jika diambil di luar konteks, dapat membuatnya tampak seperti rasis.
Saya mengirimkannya ke dewan dan menulis,
"Tentu saja, dia mungkin rasis atau mungkin juga tidak, tetapi di masa-masa seperti ini, apakah Anda ingin mengambil risiko rektor Anda menjadi rasis?"
Mereka memulai penyelidikan.