Bundaku menyimpan sihirnya di pernak-pernik yang mahal, dan dia mengeluarkannya untuk memamerkan kekuatannya setiap kali aku datang berkunjung.
Benda sihir terbarunya adalah seekor burung kolibri, diukir dari gading, dengan batu delima merah tertanam di tenggorokannya. Sungguh, burung kolibri gading itu adalah sebuah karya seni yang indah, tapi yang terpikir olehku hanyalah tentang seekor gajah yang telah mati agar para pemburu dapat mengambil gadingnya.
"Perhatikan," katanya padaku.
Batu delima di tenggorokan burung kolibri gading bersinar, dan burung artifisial itu terbang cepat melintasi ruangan, tertarik dengan lukisan bunga sakura zaman Muromachi. Bunda tertawa melihat kebingungan burung itu saat mencoba minum dari bunga dua dimensi.
Melihat ekspresi muramku, bundaku mengerutkan kening. "Ada apa? Waktu kamu masih kecil, kamu suka melihat sihir Bunda."
"Tidak ada yang salah," aku memaksakan senyum. Bunda bermaksud baik. Dia pulang dari berkeliling dunia dan membawa masuk koleksinya secara sah dan membayar pajak sesuai aturan, dan mengatakan sesuatu tentang burung itu tidak akan membuat gajah yang diambil gadingnya hidup kembali.
Burung kolibri itu mendarat di telapak tangan Bunda yang terulur. Cahaya kemerahan batu delima meredup, dan patung ukiran burung itu kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh burung kolibri itu, tapi Bunda menarik tangannya.
"Menyentuh burung itu akan mematahkan ilusi itu."
Bunda tidak pernah membiarkanku menyentuh pernak-perniknya. Dia selalu punya alasan.
Dulu, dia sering bilang padaku bahwa aku masih terlalu muda, tapi sekarang yang dia sebut hanyalah keajaiban, ilusinya yang paling penting. Bunda mengelilingi dirinya dengan karya seni yang indah dan mengabaikan dunia luar.