Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 93: Ini, Ini, Ini

21 Mei 2023   09:00 Diperbarui: 21 Mei 2023   09:07 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: https://www.offset.com/photos/boy-and-girl-looking-out-window-of-attic-193801

Sehari setelah satelit Palapa pertama diluncurkan ke luar angkasa, aku dan Paula bolos sekolah dan bersembunyi di gudang di rumahnya. Kami menghabiskan waktu berjam-jam melihat-lihat semua sampah yang disimpan ibunya di sini, mengunyah permen pedas dan buah ceri sampai kami merasa mual, dan saling menceritakan semua lelucon terburuk yang kami tahu---termasuk lelucon yang dipelajari Zubair ketika dia menjadi tentara. 

Aku dan Bahrain  bersumpah tidak akan pernah menceritakan kepada siapa pun sebelum dia menceritakannya kepada kami. Tentu saja, bagaimanapun juga, aku menceritakannya kepada Paula, dan suara tawanya seperti bulu ayam yang menggelitik telinga sampai aku tidak bisa menahan tawa juga.

"Ssh, ssh!" dia berbisik, takut seseorang akan mendengar kami, tapi aku tidak bisa berhenti, dan akhirnya dia menutup mulutku dengan tangannya yang beraroma ceri untuk meredam suara. Seolah-olah perasaan itu mencuri semua udara dari tubuhku sekaligus, dan untuk sesaat, saat kami berbaring diam di gudang yang sunyi dan diterangi matahari, jari-jarinya hangat di bibirku, tidak ada yang lain di dunia ini selain kurangnya ruang di antara kita. Jika Soviet dan Amerika menjatuhkan bom nuklir, seluruh dunia akan terbakar dan hilang, dan kami akan tetap di sini, Paul dan Paula, sekantong permen pedas dan buah ceri.

"Paul Harisman," kata Paula, duduk dan menggelengkan kepalanya padaku. Aku berkedip dan duduk juga, terkejut dengan kebodohanku sendiri. Jika Soviet dan Amerika benar-benar menjatuhkan bom, kita semua akan sangat, sangat mati. Selain itu, aku tidak ingin memikirkannya sekarang. Itulah alasan utama kami tidak bersekolah, alasan utama kami makan permen di gudang dan tidak mendiskusikan Siti Nurbaya di ruang kelas tanpa jendela. Peluncuran Palapa dan bom Perang Dingin adalah apa yang dibicarakan semua orang, dan kami tidak ingin membicarakannya.

"Paula Dennai Wulandari," kataku, dan dia mengerutkan hidungnya padaku. Dia benci nama tengahnya---tampak 'aneh'  dengan dua huruf 'N', tapi aku menyukainya.

"Kalau Tante Lidya mengetahui jenis lelucon yang diceritakan anaknya," katanya, "dia akan mencuci mulutmu dengan sabun."

"Dan kalau Pak Ruslan Gani tahu jenis lelucon yang kuceritakan, dia tidak akan pernah membiarkanku mendekatimu lagi," kataku.

"Yang akan menjadi tragis, tentu saja."

"Tentu saja."

Paula menyeringai dan memasukkan sepotong gula-gula ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, dia berkata, "Aku masih tidak percaya Zubair menceritakan itu padamu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun