Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Oktober di Bulan Mei

16 Mei 2023   11:59 Diperbarui: 16 Mei 2023   12:01 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

"Kalau begitu, aku akan tinggal bersamamu, Mama," katanya, dan aku tahu dia dia serius.

Ini bukan kejutan. Tidak apa-apa.

Aku mengangguk, lesu seperti musim kemarau yang membentang di depan kami, dan tanganku terjulur meraih untuk mengisi ulang gelasku. Dia melihat aku menuang, melihat tanganku gemetar dan menumpahkan kopi. Manik-manik hitam kecokelatan meresap perlahan ke dalam linen putih tebal membentuk semacam pola abstrak mencolok. Ini, dengan sendirinya, harus memberitahu dia bagaimana perasaanku. Kata-kata seharusnya tidak diperlukan.

Teko itu berbunyi saat aku meletakkannya. Aku berdehem, berpura-pura mendorong jepit rambut yang tergelincir kembali ke tempatnya.

"Terima kasih," kataku.

Kemudian di minggu itu, aku membantunya berkemas. Apa lagi yang akan aku lakukan? Kardus-kardus berserakan di lantai ruang tamu, dan larut malam aku duduk bersila di antara mereka, lampu sudut redup satu-satunya yang jadi penerang.

Di atas meja kopi tergeletak surat penawaran. Aku meregang untuk meraihnya dan memegangnya dengan hati-hati di pangkuanku, berpikir bahwa aku harus berusaha untuk tidak membuatnya kusut. Aku melihat lingkaran hitam rapi dari tanda tangannya, lebih ke huruf cetak daripada kursif, dan aku teringat bilang padanya bahwa aku akan pergi ke perpustakaan bersamanya besok untuk memindainya. Jika tanda pengenal menjadi suatu keharusan, aku punya prinsip untuk mengetahui bahwa aku mungkin tidak akan menindaklanjutinya.

***

Kurasa mungkin aku telah menghancurkan hatinya, betapapun lembutnya aku memupuskan harapannya, betapapun mudahnya untuk melepaskannya seakan benang lepas dari jahitan yang tak pas. Air mata yang bening lembut.

Aku tidak ingin menjadi perempuan yang mencabut nyawanya demi cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun