Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Jepang, Negara Matahari Terbenam?

4 Februari 2023   15:30 Diperbarui: 4 Februari 2023   15:32 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.japan-guide.com/e/e3005.html

"Umumnya, upah dan pertumbuhan produktivitas berjalan beriringan," kata McGowan. "Ketika ada pertumbuhan produktivitas, perusahaan berkinerja lebih baik dan selanjutnya dapat menawarkan upah yang lebih tinggi."

Dia mengatakan populasi lansia di Jepang juga menambah masalah, karena angkatan kerja yang lebih tua cenderung tidak menambah produktivitas dan tak mempersoalkan upah yang lebih rendah.

Pada tahun 2021, hampir 40% dari total tenaga kerja Jepang dipekerjakan paruh waktu atau jam kerja yang tidak teratur, naik dari sekitar 20% pada tahun 1990, demikian menurut McGowan.

"Seiring dengan naiknya porsi pekerja tidak tetap ini, tentu upah rata-rata juga tetap rendah, karena mereka berpenghasilan lebih rendah," ujarnya.

Menurut para ekonom, budaya kerja Jepang yang unik berkontribusi pada upah yang stagnan.

Banyak orang bekerja dalam sistem 'setia sampai mati' pada satu perusahaan. Sebagai timbal balik, perusahaan berusaha keras untuk mempertahankan pekerja dalam daftar penerima gaji selama karyawan tersebut masih hidup.


Itu berarti mereka seringkali sangat berhati-hati dalam menaikkan upah meski di saat-saat perusahaan membaik agar mereka memiliki sarana untuk melindungi pekerja mereka di saat-saat sulit.

"Mereka tidak ingin memecat orang. Jadi mereka perlu memiliki penyangga itu agar dapat mempertahankan mereka dalam daftar gaji ketika krisis melanda, "kata McGowan.

Budaya kerja-seumur-hidup di Jepang bertahan dari perang, gempa bumi, dan kini setelah pandemi.

"Sistem penggajian berbasis senioritas, di mana pekerja dibayar berdasarkan pangkat dan masa kerja mereka daripada kinerja, menurunkan insentif bagi orang untuk berganti pekerjaan, yang di negara lain umumnya membantu menaikkan upah," menurut McGowan.

"Masalah terbesar di pasar tenaga kerja Jepang adalah desakan keras kepala pada gaji berdasarkan senioritas," Jesper Koll, seorang ahli strategi dan investor terkemuka Jepang, sebelumnya mengatakan kepada CNN. "Jika gaji berbasis prestasi diperkenalkan, akan ada lebih banyak peralihan pekerjaan dan peningkatan karier."

 Bandung, 4 Februari 2023

(Disarikan dari berbagai sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun