"Malam hari membuatku takut. Bayangan, mereka hidup. Aku takut mereka mengingatku."
-Ametia, Penyihir Kota Kembang
Ningsih lelah.
Dia telah bekerja selama hampir dua belas jam dan membutuhkan istirahat dengan darah. Diam-diam dia mengutuk Caca dalam hati karena memintanya menggantikan gilirannya. Tapi cara Caca meminta, pandangan matanya yang memelas, getar bibirnya---
Dia menggelengkan pikiran, membuang pikirannya tentang Caca dari kepalanya, sambil menegakkan kepala di atas meja. Tepat waktu, karena seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh dan bekas luka yang menggores mata kirinya datang dengan terseok-seok ke arahnya.
 "Maaf, Nyonya," katanya. Suaranya kasar, tegang. "Saya mencari cucu saya. Mungkin Nyonya pernah melihatnya di sekitar sini."
Ningsih mengerutkan alisnya. Rumah Gajah punya pintu masuk dari sisi lain.
"Ini bukan lift untuk umum, Ki," katanya.
Lelaki itu melihat sekeliling. "Cucu saya tidak ada di sini?"
"Ki," kata Ningsih dengan tenang. "Jika cucumu ada di sekitar sini, saya pasti tahu."