"Nama beta Andre Sapulete. Beta tahu tentang Anda sekalian dari buku harian mendiang om beta punya. Beta datang jauh-jauh dari Banda ke Paris van Java, mencari kebijaksanaan, mencari bantuan, dari Para Penyihir Agung Kota Kembang. Beta berasal dari garis keturunan Sultan Sulu, Papa beta---"
"Broer, jij tidak perlu mengatakan semua itu. Cukup beri tahu kami apa yang kamu jij inginkan so jij bisa pergi dari sini." Chintami penyihir yang paling ceking berdiri di sebelah kanan Citraloka.
"Tapi," kata pria itu sambil mengangkat kepalanya, "dalam buku harian Om Sandy, dia berkata untuk selalu hormat pada Penyihir Agung, menyampaikan silsilah secara lengkap dan berlutut, tidak boleh melihat wajah Anda sekalian."
Semua penyihir saling pandang, berbisik dalam kebingungan. Setelah mengamati lebih dekat, ingatan salah satu penyihir samar-samar membawanya pria kecil berwajah tirus dari enam puluh lima tahun yang lalu. Dia juga ingat mereka mempermainkannya, menyuruhnya berlutut sambil memberi tahu mereka semua tentang garis keluarganya dari awal sampai akhir sebelum dia menyampaikan tujuannya. Info itu disampaikan kepada penyihir lainnya melalui frekuensi 66.6 FM yang langsung diterima receiver gaib di telinga masing-masing.
Citraloka tersenyum, "Saya ingat om Anda. Kami bercanda, sayangku. Saat ini, 'Selamat malam' saja sudah cukup. "
Andre memandang mereka semua untuk pertama kalinya. "Jadi, beta boleh berdiri sekarang? Lantai gua ini membuatku lutut saya nye---"
"Tidak," potong Citraloka, masih tersenyum, "tetaplah berlutut. Kami ... "katanya, sambil memandangi saudara-saudaranya," ... sihir tidak akan berhasil jika kamu berdiri. "
Dia menatapnya dengan sedih dan mengangkat bahu dengan cara seakan-akan mengatakan, bukan aku yang membuat aturan itu, maaf.
Andre mengangguk, menerimanya sebagai fakta. "Beta ingin---"
"Jimat buat memikat wanita?" Sebuah suara dari belakang memotongnya. Dia berbalik untuk melihat seorang gadis remaja muncul dari kegelapan. Dia menyeringai lebar sambil memainkan serangkaian kunci aneka rupa.