Dhea datang membawa sebotol minuman bersoda dan berbau sungai. Di belakangnya sore hari padam seperti bara di tungku hitam malam.
Dhea pergi di pagi hari tanpa sepatah kata pun, memundurkan pikap di jalan masuk dengan dagu di atas bahunya. Sekarang, rambutnya seperti semak belukar dan terselempang selendang anyaman di pundak. "Ya Tuhan," bisik Samsul melalui pintu kasa sebagai tanda untuk mengundangnya masuk.
Di dapur Dhea memotong kepala dan ekornya, mengikis sisik dari sisinya. Membelah perutnya, mencucinya, mengeringkannya.
"Percayalah," katanya, "ini bukan cerita tentang ikan." Dia meletakkannya di wajan yang mendesis. Sementara itu, dia menemukan bubuk kopi dan menuangkan air panas.
Samsul bergabung dengannya dari meja makan, dan, setelah ikannya matang, Dhea meletakkannya di piringnya. Dagingnya yang matang persis seperti warna rembulan yang memudar.
"Ikan segar," katanya, "Surga. Di dunia yang sempurna tidak akan ada perbedaan." Dia mengangkat sesuap ke mulutnya. Samsul mencicipi gunung dan pepohonan, seruan nyeri sariawan, jejak kaki macan dahan dan sedikit mimpi lingsang.
"Ya," kata Dhea, "Ada dua dari mereka bermain di batu."
Samsul menggigit sepotong dadu lagi. Ikan-ikan itu berenang di dalam dirinya. Lingsang tergelincir ke dalam air.
Bandung, 4 September 2022
Sumber ilustrasi