Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kereta Api yang Membawaku Ke Mana Saja Kecuali Pulang ke Rumah

2 September 2022   10:31 Diperbarui: 2 September 2022   10:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku naik kereta ke Bulan, dasar lautan, puncak gunung Himalaya.

Dan Fahira bilang, mustahil, karena kereta api tidak melakukan itu. Mereka tetap di jalurnya, melekat di darat. Namun kukatakan padanya apa yang harus dia lakukan.

Kamu hanya bayi yang masih membutuhkan boneka di malam hari, dan kami berdua berpura-pura tidak membicarakannya saat dia meninggalkan ruangan, sehingga aku dapat melanjutkan membangun kereta kardus dan ketika selesai duduk di depan menjadi kondektur dan mengemudikan kereta itu dengan peluitnya yang melengking dan mesinnya yang menghabiskan seteguk batu bara dan menyemburkan asap jelaga.

Dan di sana aku tinggal sepanjang hari, pura-pura tidak mendengar panggilan Ibu untuk membereskannya dan bahkan tidak tersentak ketika Ayah tiba di rumah dan menatapku yang duduk di sana, menendang kotak-kotak itu saat dia berjalan melewati dalam perjalanan ke dapur.

Dan ketika aku mendengar suara-suara yang meninggi dan ketegangan yang membara di udara dan piring yang pecah. di lantai, aku terus mengemudikan keretaku. Bahkan sama sekali tidak keberatan ketika Fahira naik di belakangku, beruangnya terselip di bawah satu lengan, dan kami membiarkan bunyi jugijagijug dari lokomotif mengantar kami ke Kutub Utara, meluncur melintasi gunung es dan ular di gundukan salju. Kami melambai ke orang-orang Eskimo dan melemparkan timun ke luar jendela untuk dimakan anjing laut.

Dan kemudian kami melakukan perjalanan ke selatan ke pantai di Brazil di mana semuanya adalah pasir dan senyuman dan sinar matahari dan kemudian kami melaju melintasi lautan ke hutan Afrika tempat monyet menggantung dengan ekor mereka di pohon dan bunga tropis mekar seperti payung warna-warni.

Dan di sanalah kami berhenti, turun dan bersembunyi di bawah dedaunan sebesar perisai prajurit Waknda dan yang bisa kita dengar hanyalah tetesan air dari cucuran hujan dan dengungan serangga seukuran tanganmu dan kicauan burung yang terbang di atas dengan sayap seperti pelangi.

Dan ketika Fahira berkata, bisakah kita melakukan ini lagi besok? Aku katakan padanya, ya tentu saja kita bisa, meskipun aku tahu kemungkinan besar ketika kita bangun di pagi hari kereta kardus kami akan berada di api di lubang pekarangan belakang, menyemburkan asap jelaga.

Bandung, 2 September 2022

Sumber ilustrasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun