Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lebaran bersama Calon Mertua

24 Mei 2021   19:19 Diperbarui: 24 Mei 2021   19:25 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyonya Jenderal menoleh karena percakapan kami dan bertanya mengapa aku berhenti makan. Semua kepala menoleh ke arahku.

Sesaat aku tergoda untuk mengambil garpu dan melanjutkan makan, tapi aku tersenyum dan berkata aku kenyang. Makanannya sangat enak, tapi tentu saja aku tak boleh makan banyak. Semua mengangkat bahu dan kembali makan dan berbantahan tentang sepak bola, kecuali Chika, dan Herkules. Raut bingung di wajah pacarku cocok sekali dengan yang ada di muka Herkules.

Barulah aku sadar bahwa dia lupa tentang rencananya. Tersesat dalam euforia suasana kekeluargaan yang luar biasa, makanan yang luar biasa, dan wacana yang penuh gairah tentang permainan favoritnya, dia tak sengaja menepuk pahaku. Dia salah menepuk pahaku dan membuatku berhenti makan.

Aku ingin menangis. Aku masih sangat lapar dan setan di sampingku memindahkan gunung di depannya ke dalam perut dengan penuh semangat.

Makanan penutup berupa beragam macam buah-buahan keluar. Aku mengambil sedikit lebih banyak dari yang lain, tetapi tetap saja tidak berhasil meredakan pemberontakan para cacing di perutku.

Setelah makan, kami salat magrib berjemaah, lalu ke ruang keluarga dan menonton film komedi yang sangat lucu. Aku hanya ingat bahwa itu lucu karena semua orang tertawa, kecuali aku. Aku menyimpan tenaga untuk bertahan sepanjang malam hingga sahur terakhir nanti.

Setelah film selesai, kami mengucapkan selamat tinggal dan masuk ke kamar untuk tidur. Aku dan Herkules berbagi kamar dan segera setelah kami masuk, aku memandangnya dengan mata melotot sampai mau copot.  Dia tampak bingung sejenak, lalu ketika dia ingat, sepupuku yang bajingan  itu tertawa terbahak-bahak. Tanganku sudah terangkat ingin mencekiknya. Ketika dia melihat betapa marahnya aku, dia berhenti tertawa dan meminta maaf. Katanya, dia benar-benar lupa tentang tanda 'berhenti makan' itu. Dia benar-benar tidak melakukannya dengan sengaja. Aku yakin air mata mengalir di pipiku.

Saat itu hampir pukul 10 malam dan jika santap sahur disajikan pada pukul empat dini hari keesokan harinya, aku bertanya-tanya bagaimana akan bertahan selama enam jam berikutnya. Satu-satunya yang  aku makan pada hari itu adalah dua piring nasi dengan telur dadar pada pukul empat pagi, di sebuah rumah makan padang sebelum jalan masuk gerbang tol.

Aku naik ke tempat tidur dengan perut keroncongan. Selama dua jam berikutnya aku mencoba tidur, tapi gagal. Aku tidak bisa tidur dengan perut lapar. Pemandangan Herkules tidur mendengkur dengan damai di sampingku membuat segalanya menjadi jauh lebih buruk. Ketika aku semakin tak tahan, aku mulai mondar-mandir.

Kemudian aku memutuskan untuk membuat kesalahan terbesar dalam hidupku.

Dengan sangat perlahan, aku membuka pintu kamar. Untung saja tidak berderit, mungkin rajin diminyaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun