Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Tehingga

13 Mei 2021   20:25 Diperbarui: 13 Mei 2021   20:44 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dukun itu bersila di tengah lingkaran dan pentagram yang digambar dengan bubuk arang kayu pohon kelor bercampur gaharu. Di balik jubah hitamnya tersembunyi jas abu-abu konservatif yang biasa dipakai manajer menengah dari perusahaan kelas menengah. Keris yang ditempa oleh tangan pengrajin besi biasa dari Klaten namun dengan peniruan yang yang lumayan persis, teracung telanjang tanpa sarung di tangannya.

Aku muncul dari asap kemenyan yang mengepul dari bakhor tanah liat-lagi-lagi tiruan dari tembikar Persia abad 2 Masehi-dan mewujud di dalam segitiga pengurung.

"Jangan muncul dalam bentuk itu! Aku mohon. Atas nama-"

Baiklah. Jadi tampilan ular kobra berkepala manusia meliuk-liuk di sarangnya tidak menarik. Sebenarnya aku benci dimensi materi yang lambat dan acak ini. Para dukun ini berpikir bahwa tidak ada yang lebih baik untuk kita lakukan selain menunggu keputusan mereka.

"Baiklah," kataku. "Bagaimana dengan ini?" Sekarang aku adalah teleskop bintang Galilei. Aku tidak keberatan ketika Galileo memanggilku. Setidaknya dia tahu fisika optik dan orbit planet.

"Jangan dalam bentuk itu," kata dukun lagi.

Kalaulah aku punya mata, pasti sudah berputar-putar tak sabar. Seharusnya dia memberi tahu, dia ingin aku muncul sebagai apa. Jadi proses penyesuaian ini tidak berlangsung lama. Aku mencoba lagi.

"Ya Tuhan, itu menjijikkan! Jangan datang dalam bentuk itu atau aku akan menginjak-nginjakmu!"

Bla bla bla. Tampilan laba-laba terlalu banyak mata, kurasa. Harus banyak stok sabar, ternyata.

"Ya, seperti itu lebih baik," kata si dukun.

Aku memakai sepatu bot kulit setinggi lutut dan korset warna kulit ketat. 38 Cup D. Galileo juga menyukaiku seperti ini, tapi hanya sekadar intermezo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun