Dia tidak menoleh, dia tidak malu atau takut sepertiku. Tangannya menjulur untuk menggenggam milikku. Aku menoleh sekilas dan menyesal telah melakukannya.
"Apa yang akan terjadi?" aku bertanya.
"Jangan khawatir. Kita melakukan yang terbaik," katanya.
Aku meremas tangannya. Tenggorokanku rasanya terbakar, kepalaku berdenyut-denyut, seperti ada yang menancapkan paku ke ubun-ubunku.
Setiap serat otot di tubuhku menegang. Aku takut jika lengah sedikit saja, bendungan di balik mataku jembol dan air mata akan menyembur membanjiri wajahku.
Aku harus segera pergi dari sini. Menjauhi tempat ini. Kembali menjadi manusia tanpa nama di jalan.
Dengan suara lirih berbisik, kuulangi kata-katanya.
"Rumah yang bagus. Orang tua yang penuh kasih sayang. Makanan yang bergizi. Pendidikan yang baik." Semua hal yang tidak pernah kudapatkan.
Kesempatan dalam hidup.
"Betul," katanya.
Percaya pada kata-katanya, pandanganku tertuju pada persegi panjang di ujung selasar berdinding putih. Aku mulai berlari. Gaung langkah kami yang berakselerasi seperti tabuhan gendang semakin cepat memekakkan telinga. Aku memegang leherku.