Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wayang Kulit

28 Juni 2019   03:31 Diperbarui: 28 Juni 2019   04:23 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.indonesia.travel

Setiap kali wayang kulit dipentaskan, akan ada yang mengucapkan selamat tinggal.

Ada juga yang berkata, tolong, jangan pergi. Orang lain berujar, andai saja. Dan ada juga yang bilang, aku ingat, dan tertawa.

Setiap pertunjukan wayang kulit adalah kenangan.

Aku hanyalah wayang kulit tua. Tidak dapat lagi mengubah apa yang pernah kulakukan.

Namun aku masih membutuhkanmu. Tanpa keinginanmu untuk memberitahuku siapa aku, aku tersesat dan bingung. Wayang muda bisa menjadi apa yang diinginkan: utuh, dinamis, manusiawi. Aku tidak memiliki semua itu.

Meski aku beruntung, banyak dari jenisku yang tak mampu bertahan, dan tidak banyak dalang yang mau menerima punakawan tua yang yang telah sepenuhnya berubah ujud menjadi wayang kulit.

Kamu datang ke pertunjukan pada pukul 4 pagi, saat tembang megatruh. Lingkungan sanggar membuat kamu takut: terlalu banyak mimpi yang berantakan, seniman mabuk, dan warung-warung kopi oplosan dua puluh empat jam.

Kamu telah berjalan berjam-jam, memintal pikiran seperti dalang yang hanya tahu cara mengulang, dan di sinilah tungkaimu membawamu.

Kamu kangen dia. Kamu terbunuh oleh lubang yang dibuatnya.

Kamu mati rasa. Kamu adalah paku keling rasa sakit yang tajam yang terlalu akrab untuk dirasa. Dipisahkan oleh membran setipis kulit, kamu datang kepadaku dan mengingatnya.

***

Maharaja Rahwana, begitulah legenda yang tak pernah dikisahkan, jatuh ke ngarai keputusasaan ketika permaisuri kesayangannya mangkat.

Suasana hati dan kewarasan seorang raja adalah situasi dan kondisi suatu negara, sehingga para menteri dan pejabat dipenuhi rasa takut. Maharaja adalah kerajaan. Bencana perang, kelaparan, banjir, atau sampar apa akan datang dari kesedihan yang berkepanjangan seorang Maharaja?

"Bawa dia kembali, bawa dia kembali dari kematian!" teriak Maharaja, tetapi tidak ada yang memiliki mukjizat itu.

***

Setiap pertunjukan wayang kulit adalah kenangan. Setiap episode adalah sebuah janji.

Kamu membeli karcis dan masuk ke dalam sanggar yang suram. Karpet beledu merah berdebu.

Kamu berjalan ke belakang pentas dan duduk di samping peti kayu sang dalang. Lampu temaram, dan tanganku menjulur melalui celah sempit, menyentuh jemarimu. Kamu terkejut. Tanganku tampak pucat dan kecil, seperti tangan bocah yang merana.

Jemarimu menggenggam tanganku. Denyut nadimu melonjak, takut aku akan mengambil darahmu atau menyeretmu ke dalam peti. Tanganku dingin. Aku sudah lupa kapan tanganku pernah sehangat tubuhmu.

Setiap wayang memiliki kenangan, tetapi tidak satupun sungguh-sungguh milikku. Aku berusaha menyimpan sepotong, namun aku butuh bantuanmu.

***

Di tengah keputusasaan Maharaja dan ketakutan para menteri, ada seorang punakawan bijaksana yang tidak pernah lupa bernapas dan bergembira. Dia mencari di langit, di samudra dan di dataran tinggi mujarobat yang dapat menyembuhkan kesedihan Maharaja.

Dia menciptakan mesin yang menyelam ke dalam lautan untuk bertemu para duyung, membangun layang-layang yang cukup besar untuk membawa Maharaja ke awan, mengimpor hewan-hewan yang hanya ada di benua kabut dingin, namun tidak ada yang bisa menyenangkan Maharaja.

Merasa lelah, punakawan pulang ke rumah. Dalam perjalanannya dia melihat dua anak bermain dengan boneka kulit.

Sebagai seorang punakawan yang bijaksana dan tak pernah lupa untuk bernafas dan bergembira, bahkan di saat yang paling gelap ini, dia berhenti untuk memperhatikan anak-anak itu. Saat dia melihat, matanya berpindah dari boneka-boneka kecil ke bayangan mereka di dinding, dan di sana dia melihat dua bayangan menari seolah-olah hidup.

Punakawan yang bijaksana bergegas pulang dan sepanjang malam dia membuat layar pertunjukan wayang kulit pertama di mayapada, terbuat dari bentang kain mori. Dia mengukir kulit menjadi wayang, diwarnai dengan kelir yang rumit dan indah. Dia memotong jepit sanggul istrinya untuk membuat tangkai.

Saat fajar tiba, dia membangunkan Maharaja dari tidurnya dengan nyanyian, tarian, dan kisah kehidupan permaisuri yang ditampilkannya dalam bentuk bayangan.

Air mata Maharaja bercucuran penuh sukacita ketika melihat kekasihnya dihidupkan kembali dalam cerita dan nyanyian.

"Tunjukkan cara dia menari, oh pergelangan tangannya sangat ramping, persis seperti itu!"

"Kisahkan juga waktu dia mendorongku di kolam ikan," perintahnya.

Tunjukkan padaku. Ceritakan padaku, tunjukkan padaku, perintah Maharaja sampai airmatanya mengering berganti tawa bahagia. Dia menyentuh layar dengan tangannya saat bayangan permaisuri berkelip.

Dia mengetahui bahwa kisah-kisahnya tidak akan pernah sepenuhnya mati, mengetahui bahwa dia selalu bisa menari di ruang kenangan.

Dia menemukan kebahagiaan sekali lagi.

***

Akulah permaisuri sekaligus wayang kulit. Kembali dari alam kubur dan menari di bentang layar.

Kulitmu menghangatkan tanganku.

"Aku merindukannya," kamu berbisik. "Aku sangat merindukannya."

Dan aku memainkan dirimu di layar yang bersinar dengan cahaya lembut. Aku membawa kisah bayanganmu: yang terbaik yang kamu sendiri tak tahu tentangnya.

Aku bukan tokoh, aku adalah pertunjukan. Tulang rusukku menjadi jembatan, jari-jariku menjadi awan mendung yang mengancam turun hujan.

Wajahku adalah wajahnya, beralih rupa senyum lembut. Jari kakiku menjadi angsa di kolam yang kalian beri umpan, dan meskipun tidak melihatnya, kamu merasakan sentuhan bahunya menempel di pundakmu.

Kamu mengira pohon-pohon, jembatan, angsa dan awan hal yang nyata, bayang-bayang yang keluar dari ingatanmu. Kamu pikir aku dia, kekasihmu, saat kita menari berdasarkan kenangan.

Kamu menyentuh tanganku yang bengkok, memasukkan kenangan baru ke dalamnya. Aku terkesiap saat aku terpotong-potong menjadi siluet. Menjadi dia, menjadi pekarangan, menjadi apartemen, menjadi perjalanan yang tidak pernah berhasil, menjadi bayangan, menjadi saat-saat terakhir yang memilukan.

Aku menjadi mimpi bukan kenangan. Meraihmu untuk terakhir kalinya dan kamu memberi tahuku semua hal yang ingin kamu katakan, semua hal yang telah kamu pelajari dan lihat dan lakukan sejak saat itu. Dan aku bangga padamu, seperti yang kamu inginkan. Dan kamu berbicara dengan bayanganku seolah-olah kata-kata bisa menghentikan kematian, seakan-akan hujan akan menghapus air mata, seperti cerita kita tidak akan pernah berakhir.

Kamu tak menampak bentukku yang terpecah-pecah, menjadi gumpalan jaringan yang ditata ulang dan berkerut. Tulang-tulangku mengecil dan tumbuh untuk memberi substansi pada mimpimu, kulit tertarik dan menjadi anyaman renda. Mataku yang hanya sebelah adalah kolam tenang yang mengawasimu, mata kekasihmu.

Keberadaanku merindukanmu. Aku adalah dia, aku adalah mimpi itu. Aku menjadi darah dan daging sesuai keinginanmu.

Aku beriak, bayang tanganku memelukmu. Namun sebagian diriku sadar hukuman bagi wayang kulit yang berubah menjadi manusia. Aku cukup tahu diri bahwa kamu akan berteriak ketakutan jika melihatku hidup.

Cahaya menjadi redup dan kamu mencium layar dan berbisik selamat tinggal.

Aku berkata, "Aku mencintaimu, aku akan selalu mencintaimu, dan aku takkan menyesal," dengan suaranya.

Kamu mencium layar lagi, dan cahayapun padam.

Aku menyimpan ingatannya, ingatanmu. Bayangan berputar tanpa cahaya untuk menunjukkan tarianku. Aku mengingatmu semampuku. Tempat ini gelap, dan aku hanyalah wayang kulit, dan mungkin takkan ada lagi pertunjukan lain dengan penonton sepertimu.

Kamu keluar menuju jalan raya. Bau amis pagi yang baru menguar menusuk hidung. Tentukan langkah baru. 

Aku cinta kamu.

Aku bangga padamu.

Aku tak menyesal.

TAMAT

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun