Mohon tunggu...
Awalus Shoim
Awalus Shoim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Merasakan, melihat dan berfikir.. Egosentris adalah nafsu dan ambisi, "Sosialita mungkin sebuah kebutuhan"!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mudik, Kebersamaan dan Jati Diri

6 Juli 2016   11:39 Diperbarui: 6 Juli 2016   12:00 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Cihideung"][/caption]Idul fitri 1437 H ini banyak momentum yang mengejutkan dan memberi makna dari masing masing kita, sebagai muslim dan sebagai warga bangsa Indonesia, baik aktualisasi Islam dalam awal 1 syawal yg sama, rahmatan lil alamin sampai pada krisis identitas dalam isu stigma keislaman dan rentetan bom dari sederetan negeri Bangladesh, Pakistan, Turki, Arab Saudi, Indonesia dan Malaysia.

Mudik kalau diurai pameo dalam bahasa jawa "mulih nang udik" artinya ya pulang dan udik berarti kampung, kampung yg membesarkan dan memberi warna dasar dari kita, berlabuhnya kerinduan dari segala hal pernik kesibukan dan "keliaran perkotaan".

Idul fitri bukan kontestasi panggung pesta kembang api dan kesemarakan perhelatannya dalam seremoni di sana sini, bukan pula menafikkan saat saat akhir ramadhan, numun munajat dan rasa kehambaan akan kebesaran Nya.

Mudik sekarang tidak hanya dari kota besar ke pelosok pedesaan tetapi karena tingkat mobilitas dan pemerataan industri dan kegiatan ekonomi bisa dari manapun, mungkin dari kota kecil ke Jakarta atau Surabaya atau kota lainnya.

Mudik adalah kekayaan budaya yg perlu difasilitasi dan dikreatifkan makna kebajikannya, karena motivasinya adalah silaturrahim ke kampung untuk membangun kembali jalinan, sikap kepedulian sesama dg membawa oleh oleh, membagi bagikan rezeki yang diperoleh kepada kerabat, tetangga dan anak-anak, bertemu dan berbagi kasih dan kisah petualangan hidup di rantau dan yang bertahan di kampung, dan beragam ritual budaya baik itu panganan tertentu yg dihadirkan atau seni yg ditampilkan hanya pada kesempatan tersebut.

Budaya kerukunan memang disatukan oleh satu budaya dan tingkat pranata sosial yang sama sebagaimana dipraktekan di zaman Sunan Gunungjati dengan komunitas Budha dari Tiongkok dan terwujud sampai sekarang dengan wihara di pamarican Banten, atau jalinan komunikasi antara Uskup d Purwokerto dg beberapa Ponpes dan tokoh muslim saat lebaran, artinya lakum dinukum waliyadin tetap di jaga yaitu menerima perbedaan dengan tetap teguh pada keyakinan (tanpa sinkretisme) masuk dari uri uri budaya jawa sebagai modal persaudaraan.

Semangat dari kebiasaan mudik dmaknai sebagai pengingat akan jati diri , pribadi muslim, asal usul, faktor pembentuk, sejarah, kearifan lokal yg bisa kita hadirkan dimanapun dibawa.

Mudik bukan klaim dan dinikmati oleh para perantau, namun mudik adalah kembalinya kesadaran akan siapa kita dari mana berasal dan mengubur egosentris dan jumawahnya status sosial.

Mudik adalah rangkaian perjalanan panjang ramadhan hingga pertemuan ramadhan berikutnya.

Mudik adalah kesadaran kita akan masa di mana kampung akhirat menanti kita dan bekal kehangatan silaturrahim dalam kumandang takbir menaungi kebersamaan sesama. Allahu Akbar 3X walillahilhamdu.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun