Mohon tunggu...
Aurellia Virgie Andjani
Aurellia Virgie Andjani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Hi! I’m an undergraduate Dutch Studies student at Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pekat Penuh Pikat

14 Desember 2023   13:18 Diperbarui: 16 Desember 2023   17:26 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terbangun di atas tanah yang lembab dengan penuh keringat. Badanku terasa remuk lengkap dengan luka-luka yang belum mengering. Gaun yang kukenakan tak mampu menghalau dinginnya malam yang terasa menusuk hingga ke tulang. Tempat ini terasa asing. Pencahayaan dari api unggun yang berada di tak jauh dariku sedikit membantuku mengamati sekeliling. Apakah aku ada di tengah hutan? Bagaimana bisa? Mengapa tubuhku dipenuhi luka? Seingatku aku berada di dalam kamar. Samar-samar pendengaranku menangkap suara derap langkah kaki dan sebuah nyanyian dari bahasa yang tidak kumengerti. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, kubangkitkan tubuhku untuk bersembunyi di balik pohon besar.

Segerombolan orang kemudian datang berjalan menghampiri api unggun dengan nyanyian yang semakin lantang. Masing-masing dari mereka membawa tongkat yang di atasnya terdapat tengkorak. Mereka bertelanjang dada dan memakai kain sarung berwarna merah darah. Pergelangan kaki mereka dilengkapi dengan gelang kerincing. Dengan muka datar mereka menatap nyalang ke arah api unggun.

Dari arah belakang, seorang pria berperawakan besar dan tinggi datang. Ia memakai topeng dengan wajah kera dan tubuh bagian atasnya berwarna putih layaknya dilapisi cat. Kain sarungnya bercorak hitam putih seperti papan catur. Kalung emas yang berjuntai panjang hingga perut, anting yang sepertinya berdiameter sepuluh senti, serta gelang yang memenuhi area pergelangan tangan hingga siku turut ia pakai. Aku menduga ia pemimpin orang-orang itu dilihat dari pakaiannya yang berbeda. Ia diikuti oleh dua orang lelaki muda di belakangnya. Aku memperkirakan mereka mungkin berusia sekitar lima belas tahun. Salah satu dari mereka membawa ayam yang seluruh tubuhnya berwarna hitam, sedang yang lainnya membawa bunga-bunga dengan banyak rupa di atas nampan. Mereka kemudian bergabung dengan orang-orang yang mengelilingi api unggun.

Pria berperawakan besar tersebut menggantikan nyanyian lantang sebelumnya dengan kalimat yang mirip seperti mantra-mantra kuno. Aku bergidik mendengarnya. Rasanya seperti menyaksikan suatu ritual. Para lelaki lainnya berlutut di di antara api unggun dengan kepala tertunduk. Aku bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan dengan ayam hitam tadi ketika dibawakan ke hadapan si pria besar. Bau amis darah seketika memasuki penciumanku.

"Sudah kukatakan aku ingin bayi. Aku tak lagi menginginkan ayam cemani itu. Aku ingin sesuatu yang membuat energiku lebih kuat."  Seorang nenek tua datang dengan langkah kecil menggunakan tongkat kayu. Sembari mengunyah sirih, tatapan mata muak ia tunjukkan ke pria besar sebagai tanda bahwa ia tak menyukai bawaan malam ini.

"Aku tak mungkin menyerahkan seorang bayi untukmu. Aku bahkan tak mengenal siapapun yang memiliki seorang bayi," ujar si pria besar.

"Lalu mengapa sejak awal kau bersedia untuk menyanggupi apapun permintaanku? Kau telah mengingkar janji." Suara gemuruh yang datang secara tiba-tiba seolah ingin melengkapi kemarahan nenek tua. Hembusan kencang angin membuat pohon-pohon saling bergerak. Api unggun di tengah-tengah mereka mati sehingga suasana menjadi gelap gulita dengan hanya mengandalkan cahaya bulan purnama. Gemericik air hujan kemudian dengan tergesa mulai membasah bumi. Kuperhatikan langit dengan seksama hingga tepukan di pundak menyadarkanku.

"Kau seharusnya tidak berada di sini,"  ucap nenek tua dengan wajah penuh amarah kepadaku.

Jantungku berdegup cepat dengan peluh membanjiri dahi. Aku melirik ke arah jam yang sekarang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku ketiduran setelah belajar kimia ujian besok. Mimpi yang kualami barusan pasti karena cerita Amira di sekolah tadi mengenai tetangga neneknya yang mengikuti pesugihan. Segera kututup halaman terakhir materi Termokimia dan menyiapkan peralatan ujian ke dalam tas sekolah. Kusesap teh manis buatan ibu yang sudah dingin dari cangkir favoritku sejak kecil. Hujan malam ini membuatku memutuskan untuk mengenakan jaket bulu tebal hadiah Natal tahun lalu. Rasa hangat yang mulai menyelimuti membuatku kembali menjemput kantuk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun