Mohon tunggu...
Dongeng

Putri Bah Tei (3)

7 April 2016   08:52 Diperbarui: 15 Juni 2016   17:19 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="https://athisa88.wordpress.com"] 

Putri Bah Tei # 3
Oleh. Rohmat Sholihin


Ku Kejar Sampai ke Ujung Neraka
 Malam yang resah, seresah suara jangkrik yang suaranya tak lagi keras melengking mengisi malam. Agak aneh malam ini, gelapnya tak lagi mengisahkan kelengangan dan ketenangan alam. Ada sesuatu yang hilang. Hilang ditelan keredupan suara hati yang juga resah. Hati dengan kebebalan karena tercekik himpitan kesulitan perjalanan kisah hidup, berduyun-duyun, bertubi-tubi menghujam jiwa. Jika tak kuasa sedetikpun luruh lantah terombang-ambing oleh arus emosi jiwa.


“Aku harus bisa mengejarnya sebelum malam habis ditelan cerita esok, esok akan berganti pagi dan berganti kisah.” Gumam Joko Kelono sambil berlari kencang sekencang angin menembus malam. Dirinya tak menghiraukan lagi apa-apa yang ada didepannya, terus mengejar Bah Tei yang telah ditangkap anak buah Blancak Nyilu. Seluruh konsentrasinya ia pusatkan pada hati dan pikirannya yang harus tetap tenang. Meski malam ini baginya laksana malam yang ada dalam neraka. Mencekam dan meresahkan. “Aku harus bisa menemukan Bah Tei,” yakin Joko dalam hati. “Aku tak boleh menyerah, meski ke ujung neraka sekalipun aku harus bisa menemukan Bah Tei. 

Aku telah berjanji pada Babah Xio akan selalu menjaga dan melindungi Bah Tei sampai nyawa ku ini pisah dengan badan.” Gumam hatinya yang terus berkecamuk dengan pikirannya. “Jika Bah Tei sampai disiksa akan kululuhlantahkan kurcaci-kurcaci Blancak Nyilu,” pikirannya kembali berpendar dengan penasaran dan kemarahan. Sulit menaklukan diri sendiri tanpa adanya ujian-ujian dan mampu melalui dengan sabar. Sedangkan sabar tak bisa datang begitu saja seperti membalikkan telapak tangan, sabar perlu melatih hati. 

Seperti apa yang telah diajarkan sang guru Mpu Batoto di Padepokan Walet Emas. Sabar itu hanya bisa dilatih dan dibiasakan dalam kehidupan nyata, bukan hanya dilatih dalam kata-kata saja. Jika mendapatkan kesulitan dan kesusahan harus diterima dengan kebesaran jiwa, Allah akan memberikan nilai yang indah dibalik kesabaran makhluknya. Tak boleh hanya pandai mengeluh apalagi menyalahkan Allah atas cobaan dan kesulitan yang kita hadapi. Itu ujian dalam hidup. Jika tak mau ujian dalam hidup lebih baik tak usah hidup. Hidup seperti belajar, berfikir dan menyelesaikan masalah-masalah disekitar kita setiap hari. Belajar tak bisa ditinggalkan begitu saja. 

Manusia berhenti belajar punahlah sudah kebudayaan. Jika kebudayaan punah manusia akan mengalami kegelapan, mengais-ngais dalam kegelapan seperti dalam hutan, gelap ini. 


“Aduh kang, kita terjebak dalam bukit kapur begini.” Bicara anggota rombongan pada ketua. “Naik terus saja!” perintah ketua dengan sedikit ragu meski suaranya ditegas-tegaskan. Jalan sungguh terjal dan terbelenggu tebing-tebing kapur hutan Bukit Duwur. Suara gemiricik air sungai terus memecah malam, suaranya nyaring seperti alunan lagu mendayu-dayu mengikuti irama alam, terpental dan menggaung dengan kedua tebing saling bertabrakan. Kelelawar bersiut-siut mengeluarkan decit tinggi, angin memainkan daun-daun diselingi ranting-ranting dan dahan tak ada hentinya.


“Sudah tak ada lagi jalan kang.” Tegas anggota rombongan panik.
“Bagaimana kalau kita balik saja kang? Kita ambil saja jalur yang ke selatan tadi.” Usul anggota pada ketua.
“Sial...balik lagi itu seperti membuang waktu percuma. Membuang tenaga saja.” Jawab ketua dengan nada marahnya yang semakin membuncah. Sedikit matanya melirik pada Bah Tei yang tangannya terikat tak berkutik. Dalam hati Bah Tei sedikit lega mendengar akan mengambil jalur balik, ada kemungkinan Joko akan menemukan jejaknya, “ya Allah berikan kekuatan dan kesabaran pada hambaMu ini ya Allah semoga Joko bisa menolongku.” Tapi kemudian terhenyak lagi batinnya, “Apakah Joko bisa selamat dari terkaman lumpur hidup?” pikirannya bermain untuk menjawab pertanyaan dan keresahan hatinya yang semakin membuncah.
“Ayo lebih cepat jalannya cah ayu! Kita akan mengambil jalur selatan,” perintah ketua.
“Bagaimana bisa jelan cepat? Dalam keadaan terbelenggu begini kau menyuruhku berjalan cepat.” Jawab sinis Bah Tei.
“Kalau bukan pujaan tuan Blancak, sudah aku lumat tubuhmu cah ayu.” Sambut ketua dengan senyum menyeringai, giginya yang tak rata besar dan panjang-panjang, kotor, dan menghitam semakin terlihat mengerikan.
“Memangnya kau siapa? Berani melumat tubuhku? Ciiiiih, dasar orang dungu!” Bah Tei tak mau kalah. Ia sengaja memancing kemarahan ketua agar jalannya sedikit terhambat.
“Ha...ha...apa sampean tak kenal aku?, syukurlah kalau kau tak kenal aku cah ayu. Aku bisa bebas mengusikmu.”
“Hussst...siapa sudi, melihatmu saja aku muak.”
“Justru yang memuakkan itu cah ayu yang bisa membikin hati menjadi menggebu-gebu.”
“Oh tak kan. Sekali memuakkan tetap memuakkan.”
‘Cuiiiih....”
“Semakin marah semakin menantang dan semakin menarik cah ayu.”
“Dan sekali picik tetap picik.”
“Ah cah ayu semakin pandai saja berceloteh.”


Bah Tei diam tak meneruskan lagi bicaranya. Niatnya untuk membuat marah pada ketua rombongan sia-sia, ia alihkan pandangnya pada samar-samar rembulan tersapu mega, remang-remang. Kegundahan dalam hati semakin menggila. “Ah Joko, seandainya kau bisa menolongku malam ini, kita bisa meneruskan perjalanan untuk mengembara bersama lagi melihat bukit, gunung dan sungai, masuk-keluar hutan, berburu ikan, dan tentu saja kita bisa saling bercerita.” Pikiran Bah Tei terus menari-nari merindukan sosok yang hadir dalam ingatannya yaitu Joko. Pemuda misterius yang datang secara tiba-tiba ke sanggar batik di Lasem untuk menawarkan menjadi pengawal andalan keluarga Xio Bah.


Dari balik semak-semak sepasang mata tajam terus mengintai arah pergerakan rombongan itu. Tak berkedip sedetikpun, terus mengintai. “Aku harus memakai cadar supaya tak diketahui oleh cecunguk Blancak Nyilu itu bahwa aku masih hidup. Mereka akan semakin bingung siapa lagi yang membawa lari Bah Tei.” Batinnya dari semak-semak belukar. “Aku harus membuat mereka berpencar.” Dan secepat kilat tubuh dari semak-semak itu berkelebat ringan seperti angin. Memancing rombongan untuk mengejarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun