Rambut keriting yang terikat dan terbawa ke sana ke mari setiap dia berlari selalu menggemaskan. Shalamar, nama yang dibubuhkan oleh seorang ayah untuk putri pertamanya itu pada delapan tahun yang lalu. Kulit putihnya membuat warga desa berhati-hati, takut kotor dan lecet. Dia tak pernah kalah---lebih tepatnya tak mau---tentang bersepeda, petak umpet, lompat tali karet, dan berhitung. Jika nasib tak baik, dia akan coba lagi. Anak yang cerdas, tetapi tak suka membaca.
"Shala, ayah punya hadiah," tanpa ketukan pintu, seorang laki-laki tinggi yang dipanggil ayah sudah berdiri di sela-sela pintu kamarnya.
Gadis kecil itu duduk dan siap menyambut kotak berwarna merah muda. Ayah tersenyum geli melihat mata anaknya yang sudah merah, tetapi belum juga tertidur. Debaran jantung tentang hari ulang tahun memang sukses membuat susah tidur. Saat kotak terbuka, Shalamar memanyunkan bibir. Hidung peseknya mengerut sempurna. Pria di hadapannya tertawa.
"Kamu serius sebenci itu sama buku?" Anak perempuan yang besok genap berusia delapan tahun ini mengangguk sembari tetap memasang muka kesal. "Buku ini berbeda," sang ayah mulai menjelaskan. Raut Shala sedikit kendur. "Bukunya hanya bisa dibaca oleh anak hebat. Kalau tidak, buku ini cuma berisi lembaran kosong. Mau coba?" Pria ini memakai cara licik, memanfaatkan jiwa kompetitif sang anak.
Buku bersampul coklat dibuka mulai dari lembar pertama. Dahinya mengerut saat muncul tulisan. Diam-diam, pria tadi meninggalkannya dan melanjutkan pekerjaan. Shala sibuk membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Batinnya merasa menang dan hebat. Lembar pertama selesai dalam waktu lima menit. Pada lembar kedua, tulisan makin sedikit. Dia terus membaca. Hatinya belum terporos pada buku itu, tetapi dia ingin membuktikan kehebatan dirinya.
Pada lembar ketiga, terdapat sebuah gambar. Dia tersenyum menang. Tidak hanya tulisan yang dilihat, tetapi juga gambar. Itu hebat, pikirnya. Lembar ketiga ini, hanya perlu waktu tiga menit. Shala membanting buku saat matanya tertuju pada lembar keempat. Kosong. Raut kesalnya muncul kembali. Dia keluar kamar sambil menghentakkan kaki sekeras mungkin. Ibunya heran, tetapi sang ayah tersenyum.
"Ada apa, anak cantik?"
"Kenapa aku nggak bisa baca yang ini?" tanyanya sambil menunjuk lembaran kosong.
"Berarti waktunya istirahat, besok lagi baca berikutnya. Kamu sudah terlalu lelah, tidak ada energi untuk membaca," jelas ayah dengan sabar.
Shalamar mengangguk mengerti. Buku itu ditutupnya dan dia pergi ke alam mimpi. Jantungnya tak berdebar lagi. Hitungan detik sejak tubuh sudah kembali terselimuti, napasnya sudah teratur. Dia sudah terpejam dan bergerilya di sana. Buku ajaib tadi sudah di meja belajar bersama tumpukan buku matematika favoritnya. Sayang, gadis kecil ini bertemu dengan momoknya. Di sana, di alam bawah sadar, dia berdiri bersama tumpukan buku dongeng. Halaman yang penuh huruf terbuka lebar menakutinya. Setiap pergerakan, buku-buku itu ikut bergerak.