Cobalah memahami perspektif lain. Balik lagi, berpikirlah bahwa setiap orang pasti punya salah dan situasinya bukan di bawah kendali kita.
Siapa tahu orang itu tidak berniat menyakiti kita? Siapa tahu itulah yang baik menurut perspektifnya?
Jangan juga untuk abai. Tegurlah dengan baik, beri tahu rasa sakit hati kita atau kesalahan yang dia perbuat. Apabila orang itu tidak mau berubah dan perlakuannya bisa mencelakai kita, tinggalkan. Jangan terlalu banyak membuang waktu.
Contoh lagi, ada orang yang menekan ekspektasi tentang pencapaian hidup saya. Idealisme saya tersenggol, marah karena terus-terusan ditekan.
Setelah merasakan emosi negatif mulai muncul, saya berhenti sejenak. Berpikir pula, "Mungkin dia tidak tahu karena saya tidak memberitahunya."Â
Ngedumel atau menggosip saja tidak memecahkan masalah. Kemudian, saya tegur bahwa tekanan itu membuat saya stres; bahwa apa pun keputusan hidup saya tidak ada hubungannya dengan dia; bahwa saya juga sedang mengusahakannya.
Akan tetapi, dia tidak peduli, tetap menekan, bahkan tidak mendukung keputusan saya. Karena saya sadar hal itu bisa membuat saya 'gila' (berbahaya untuk mental), saya pergi dan tidak ingin berurusan dengannya, terutama saat dia mulai berbicara tentang pencapain seseorang.Â
Dari sana, kita bisa belajar mengikhlaskan situasi. Maafkanlah tanpa harus mengharapkan timbal balik.Â
Sulit, tetapi itulah indahnya ilmu ikhlas. Belajarnya seumur hidup, ujiannya mendadak. Prosesnya pun panjang.Â
Ingatlah bahwa tidak masalah jika sesekali mengingat kejadian itu. Namun, jangan bosan untuk belajar mengikhlaskan.
Sebab, dendam itu tidak enak, hati selalu resah dan gelisah. Sebaliknya, keikhlasan dalam memaafkan rasa sakit dan kecewa bisa menenangkan, baik hati maupun pikiran.