Suara Rossa terdengar apik bersama dentingan piring dan sendok. Mataku terlalu bosan untuk menatap layar ponsel. Ia (mataku) menyapu seisi warung. Ada yang duduk bersama pacar, ada yang sendiri, ada yang bersama laptop dan skripsinya, ada yang sepertiku bersama teman.Â
"Lihat, sahur pun harus sama pacar," Ayu kali ini berkomentar. "Malaikat pun bingung."
Tawaku menyecar pernyataannya yang cukup julid, tapi lucu itu. "Kamu iri?" Dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Â
Aku masih betah menyaksikan romantisnya beberapa pasangan yang saling tatap. Inilah yang dikata, Yogya itu tempat paling indah untuk jatuh cinta. Terlihat tulus. Entahlah, apakah di dalam ponsel salah satunya ada pesan lain yang sibuk membangunkannya sahur atau pesan yang penuh curiga?Â
Ayu sibuk membuat skenario yang penuh imajinasi. Katanya, sahur bareng pacar bisa saling membangunkan dan berbagi makanan. "Bayangin, Ra, kamu bisa menatap pacarmu di pagi buta."
"Kalau begitu, kita harus coba," aku pun mengikuti sandiwaranya.Â
"Hmmm... buat jadwal dan list warung yang buka untuk sahur. Kalau bisa ada diskon untuk pasangan," dia melanjutkan. "Buat tema juga, biar seru. Tema superhero, horor, apalagi ya?" rautnya menunjukkan acting berpikir.Â
Kami tertawa lepas sampai tak sadar sepiring nasi, semangkuk mi, dan dua gelas teh sudah ada di meja. Aroma micin menggelitik hidung. Kuah merah membuat kami menelan ludah. Minya memang dari produk instan, tapi telur dan bumbu yang mengental justru membuat menu ini berbeda dari yang lain. Kerupuk dan sayur pakcoy di atasnya menambah keindahan.Â
Kombinasi nasi putih, telur orak-arik kecap, oseng-oseng sayur kacang panjang dan tempe, beserta kerupuknya juga tak kalah menggoda. Aku sudah cukup meromantisasi dua menu ini belum?Â
"Neng, pagi-pagi udah ketawa aja. Yang pacaran kalah bahagia tuh," Aa' burjo bersabda.Â
"Biar semangat puasanya, A', masa mau loyo," Ayu menjawabnya dengan senang hati dan aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah percaya dirinya itu.Â