Dear Ramadan,Â
Tahun lalu mengajarkanku banyak hal. Aku harus menghadapi berita duka, yang aku saja enggan menghitungnya. Yang jelas, aku sudah kehilangan sahabat, guru, dan papaku dalam kurun satu tahun. Sampai saat ini mungkin aku masih merawat luka itu.Â
Di akhir, saat menghitung mundur tahun baru, semua orang seperti dipaksa punya harapan bukan? Termasuk aku, dipaksa berjalan bersama luka tahun lalu; dipaksa berharap pada tahun yang baru. Meski begitu, aku rapalkan mantra agar tahun ini benar-benar jadi tahun yang baik untukku.Â
"Semoga ketenangan menyertaiku, sehat raga dan jiwaku, serta mampu bertahan sampai waktunya pulang."Â
Begitulah aku hidup sampai ada hari saat sebuah buku yang menarik perhatianku di deretan rak toko. Ramadan, sepertinya Tuhan minta aku punya ilmu baru.Â
Bukunya sampai di tanganku bulan lalu, Filosofi Teras oleh Henry Manampiring. Ah, pasti sudah tak asing dengan buku yang dicap Mega Best Seller itu. Iya, ketinggalan sekali, sudah puluhan kali dicetak, aku baru membacanya. Itu pikiranku saat membaca cetakan ke-74 di sana.Â
Ramadan, kau tahu? Aku berani bilang, buku ini memang cocok dibaca pada saat seseorang sudah siap menerima ilmunya. Ternyata, aku memang baru siap sekarang. Di sinilah aku, duduk membaca sambil menyesap ludah, menahan haus.Â
Kata Epictetus (dalam Manampiring, 2025), "Some things are up to us, some things are not up to us." Kalimat yang kerap dibicarakan anak generasi Z (Gen Z). Ternyata itu sebuah prinsip para filsuf Stoa.Â
Aku juga sudah tahu lama pasal kalimat itu. Sayang, dulu aku masih terlalu bodoh untuk menyerapnya. Mark Manson juga pernah bilang bahwa jangan pernah menghindari kesulitan, namun temukan hal sulit yang bisa kita hadapi dan nikmati.Â
"Dalam hidup ini, kita hanya punya kepedulian dalam jumlah yang terbatas. Makanya, Anda harus bijaksana dalam menentukan kepedulian Anda" (Manson, 2020).
Dua orang menyatakan pasal yang sama, bahwa pikirkan saja sesuatu yang memang bisa kita kendalikan. Sisanya, biarlah jadi urusan semesta.Â
Kali ini, aku jadi belajar tentang cara menikmati hidup meskipun harus bertemu ratusan masalah. Sebab, bukankah segala peristiwa dalam hidup tidak sepenuhnya dalam kendali kita (ada batasnya)?Â
Kematian orang tersayang, ditolak kerja, tidak dihargai. Itu semua di luar batas. Aku hanya perlu memilih respons, yang memang sepenuhnya dalam kendaliku. Begitu 'kan cara bekerja stoisisme?
Tahun lalu aku larut dalam kesedihan mendalam, menyalahkan diri sendiri, dan merasa sakit hati pada setiap omongan orang lain. Ditambah, dunia maya yang membuat segala sesuatu tak berbatas, bahkan aku sempat ketakutan membuka Instagram.Â
Aku merasa takut melihat kebahagiaan orang lain. Tak jarang aku membandingkan diriku dengan mereka. Tidak baik, jangan ditiru.Â
Tahun ini akan berbeda, semoga saja, aku mengizinkan diri untuk menangis, tetapi aku menolak emosi itu mengendalikan diriku sepenuhnya.Â
Sebab, emosi negatif bukan sesuatu yang harus diperangi, namun dikendalikan (Manampiring, 2025).
Logikaku pun sudah kerap memberiku ultimatum bahwa setiap orang punya hak berpendapat dan membagikan semua momen (di luar kendali). Respons satu-satunya yang bisa aku arahkan adalah mengurangi media sosial, terutama menilik akun pribadi orang lain.Â
Ramadan, aku akan gunakan kesempatan bulan ini untuk mengontrol emosi, pikiran, persepsi, dan responsku pada peristiwa yang terjadi ke depannya.Â
"Kebahagiaan sejati datang dari hal-hal yang bisa dikendalikan, yaitu pikiran, persepsi, dan pertimbangan kita sendiri" (Manampiring, 2025).
Kalau mau mantraku di akhir tahun kemarin terkabul, alias ketenangan serta sehat jiwa dan raga, aku harus belajar hidup bersama prinsip-prinsip itu 'kan?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI