Dari sisi makro, pernikahan dini bisa dikaitkan dengan sistem budaya, kebijakan pendidikan, dan regulasi pemerintah. Sedangkan dari sisi mikro, pernikahan dini sering terjadi karena keputusan individu dan keluarga, yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan minimnya pengetahuan. Pendekatan semacam ini membuat saya lebih memahami bahwa masalah sosial tidak bisa dipandang sederhana. Ada struktur besar yang mempengaruhi, tapi juga ada dinamika kecil dalam keluarga yang menentukan keputusan.
Saya juga belajar tentang pentingnya berpikir kreatif dalam mencari solusi. Kehadiran metode design thinking yang kami pelajari melalui program capacity building year 2, mengajarkan bagaimana kita harus berempati pada masyarakat yang menghadapi masalah. Saya mencoba menempatkan diri pada posisi remaja yang dipaksa menikah, atau orang tua yang merasa terbebani oleh ekonomi. Dari sana saya bisa melihat bahwa solusi yang ditawarkan tidak bisa bersifat top-down saja, tapi harus lahir dari kebutuhan nyata masyarakat.
Melalui capacity building year 2 yang saya ikuti, saya lebih banyak belajar melihat masalah pernikahan dini dengan lebih tajam sekaligus menawarkan solusi yang lebih terarah. Di antaranya adalah edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja, pemberdayaan ekonomi keluarga, keterlibatan generasi muda, serta advokasi dan kolaborasi dengan tokoh adat, pemerintah, dan lembaga pendidikan.
Metode tree analysis yang saya dapatkan membantu saya memahami bahwa gejala yang tampak jelas adalah banyaknya remaja yang putus sekolah. Masalah utamanya adalah tingginya angka pernikahan dini dengan segala dampak kesehatan, pendidikan, dan kemiskinan yang ditimbulkan, sementara akar penyebabnya masih bertumpu pada kurangnya edukasi, minimnya kesadaran orang tua, serta tekanan ekonomi dan budaya.
Pengalaman saya bersama Glow & Lovely Bintang Beasiswa membuat saya semakin memahami betapa seriusnya masalah ini. Sebelum bergabung, saya melihat pernikahan dini hanya sebagai kebiasaan biasa di sekitar. Namun, melalui pelatihan dan diskusi yang saya ikuti, saya belajar bahwa pernikahan dini membawa dampak panjang, mulai dari pendidikan yang terhenti, risiko kesehatan, hingga lingkaran kemiskinan. Kesadaran ini mendorong saya berpikir lebih kritis sekaligus mencari solusi nyata.
Saya belajar bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Membagikan informasi kepada teman sebaya, berdiskusi dengan keluarga tentang pentingnya pendidikan, atau membuat kampanye sederhana, semuanya bisa menjadi awal dari perubahan. Dari pengalaman itu pula, saya belajar untuk lebih meningkatkan rasa empati, memahami alasan orang tua menikahkan anaknya terlalu dini, lalu mencoba menawarkan solusi yang lebih relevan dan manusiawi.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa masa depan bukan hanya tentang saya sendiri, tetapi juga tentang bagaimana saya bisa memberi manfaat bagi orang lain. Isu pernikahan dini memang tantangan besar, tapi bukan berarti tidak bisa diatasi. Saya percaya, kuncinya ada pada cara kita merancang setiap langkah dengan cara SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound), upaya yang kita akan lakukan kedepan mampu lebih terukur, nyata, dan berdampak. Terima kasih kepada Glow & Lovely Bintang Beasiswa yang telah memberi saya lebih dari sekadar beasiswa pendidikan, tetapi juga ruang untuk peduli, berpikir kritis, dan menjadi bagian dari perubahan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI