Mohon tunggu...
Aura FelitaMaharani
Aura FelitaMaharani Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum

Seorang mahasiswa yang gemar berpikir kritis dan menganalisis berbagai isu, baik akademik maupun non-akademik. Selalu berusaha meraih hasil terbaik melalui proses yang matang dan reflektif. Bagi saya, berpikir kritis bukan hanya soal memahami teori, tapi juga mampu menilai, mempertanyakan, dan memberi kontribusi nyata dalam lingkungan kampus maupun masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Bintang untuk Sekitar Menolak Pernikahan Dini dan Merawat Harapan Pendidikan

3 Oktober 2025   12:54 Diperbarui: 3 Oktober 2025   12:54 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Capacity Building Glow & Lovely Bintang Beasiswa Bacth 8. (Sumber: Panitia Glow & Lovely)

Semenjak menjadi bagian dari Glow & Lovely Bintang Beasiswa, saya merasa memiliki ruang baru untuk mengenal diri dan lingkungan saya dengan lebih dalam. Beasiswa ini bukan hanya soal biaya pendidikan, tetapi juga tentang bagaimana saya bisa membuka mata terhadap isu-isu sosial yang ada di sekitar saya. Salah satu hal yang semakin saya pahami adalah bagaimana budaya di Gorontalo, tanah kelahiran saya, begitu menjunjung tinggi adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Adat itu melekat begitu kuat, sampai kadang lebih diutamakan dibanding hukum formal yang berlaku secara nasional. Dari sini saya mulai melihat adanya pertemuan dan sekaligus benturan antara adat dan hukum modern yang sering memunculkan persoalan sosial yang kompleks.

Di Gorontalo, adat masih dianggap sebagai pedoman utama hidup masyarakat. Mulai dari proses kelahiran, perkawinan, sampai kematian, semua memiliki aturan adat yang dipercaya harus dipatuhi. Masyarakat adat masih meyakini bahwa melanggar adat sama dengan melanggar kehormatan leluhur. Namun, di sisi lain, hukum positif negara juga hadir dengan regulasi yang jelas, termasuk mengenai usia minimal untuk menikah. Inilah titik gesekan yang sering membuat persoalan muncul, karena sebagian masyarakat memilih untuk mengabaikan hukum modern demi menjaga adat yang sudah diwariskan turun-temurun.

Salah satu gejala yang sangat nyata dari kondisi ini adalah banyaknya remaja yang putus sekolah karena menikah muda. Fenomena ini bukan hal asing di daerah saya, bahkan sudah dianggap biasa. Saya sering mendengar cerita dari teman sebaya atau tetangga yang tiba-tiba berhenti sekolah karena dipaksa menikah. Ada yang menikah karena keinginan orang tua, ada pula karena tekanan ekonomi, dan ada juga karena menganggap itu bagian dari tuntutan adat. Semua itu kemudian mengorbankan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Salah satu gejala yang paling nyata dari kondisi ini adalah banyaknya remaja yang putus sekolah karena menikah muda. Hal ini terbukti dari hasil penelitian di Kabupaten Gorontalo, yang mencatat angka pernikahan dini mencapai 3.898 remaja berusia 12--19 tahun. Fenomena ini bukan lagi sesuatu yang mengejutkan di daerah saya, bahkan sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Saya sendiri sering mendengar cerita dari teman sebaya atau tetangga yang tiba-tiba berhenti sekolah karena dipaksa menikah. Ada yang menikah karena desakan orang tua, ada pula karena tekanan ekonomi, dan ada juga yang beranggapan bahwa hal itu adalah bagian dari tuntutan adat.
Fakta ini juga diperkuat oleh penelitian Hariati dan Andi pada tahun 2023 di Kabupaten Gorontalo, yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini antara lain kemauan sendiri karena takut menanggung aib, dorongan orang tua, rendahnya tingkat pendidikan, serta beban ekonomi keluarga.

Ketika anak atau remaja memilih menikah di usia yang terlalu dini, masalah yang lebih besar akan muncul. Pernikahan dini jelas berdampak pada pendidikan yang terhenti, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri dan berkarier di masa depan. Tidak hanya itu, dari sisi kesehatan, pernikahan dini juga berisiko tinggi, khususnya bagi perempuan yang secara biologis belum siap untuk hamil dan melahirkan. Kondisi ini bisa menimbulkan komplikasi medis yang membahayakan, bahkan berakibat pada kematian ibu dan bayi.

Selain kesehatan dan pendidikan, pernikahan dini juga memperkuat lingkaran kemiskinan. Karena tidak menamatkan sekolah, kesempatan kerja menjadi terbatas, membuat pasangan muda sulit meningkatkan taraf hidup mereka. Seringkali, mereka hanya bisa bekerja serabutan atau bergantung pada keluarga besar. Akibatnya, generasi berikutnya juga tumbuh dalam kondisi ekonomi yang sulit, menciptakan siklus kemiskinan yang terus berulang. Inilah dampak struktural yang jarang disadari ketika masyarakat masih menganggap pernikahan dini sebagai hal yang wajar.

Kalau ditelusuri lebih dalam, akar masalah pernikahan dini sebenarnya cukup kompleks. Faktor budaya memegang peran besar, karena adat menempatkan perkawinan sebagai simbol kehormatan keluarga. Ada pandangan bahwa anak perempuan yang terlalu lama tidak menikah akan membuat malu keluarga. Selain itu, faktor ekonomi juga tidak bisa diabaikan. Banyak keluarga yang merasa beban mereka akan berkurang jika anak perempuan segera menikah. Belum lagi, minimnya edukasi tentang kesehatan reproduksi membuat anak-anak muda tidak memahami risiko besar di balik keputusan menikah terlalu dini.

Saya sering mendengar cerita orang tua yang menganggap bahwa anak mereka lebih baik menikah saja daripada melanjutkan sekolah, karena sekolah tidak selalu menjamin masa depan. Padahal, mereka lupa bahwa pendidikan adalah modal utama untuk keluar dari kemiskinan. Ada juga orang tua yang mengabaikan hukum positif, dengan alasan bahwa aturan negara tidak sekuat aturan adat. Pemikiran seperti ini membuat pernikahan dini terus berulang dari generasi ke generasi, tanpa pernah benar-benar diselesaikan.

Pemaparan materi oleh Tribuana Desy pada kegiatan Capacity Building Glow & Lovely Bintang Beasiswa Batch 8. (Sumber: Panitia Panitia Glow & Lovely)
Pemaparan materi oleh Tribuana Desy pada kegiatan Capacity Building Glow & Lovely Bintang Beasiswa Batch 8. (Sumber: Panitia Panitia Glow & Lovely)

Melalui program capacity building year 2 yang saya ikuti bersama Glow & Lovely Bintang Beasiswa, saya mulai belajar cara melihat persoalan ini dari berbagai perspektif. Kami dilatih untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar, mengamati fenomena sosial, dan mencoba memahami akar masalahnya. Saya belajar bahwa dalam menganalisis masalah sosial, kita tidak bisa hanya melihat dari permukaan, tapi harus berani menggali lebih dalam. Hal ini mengingatkan saya pada konsep analisis makro dan mikro, mampu memberikan rasa hangat dalam praktiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun