Perjalanan malam membuat Dina lelah. Ia harus mengikuti ujian penting esok hari di kampusnya, sementara rumahnya terlalu jauh untuk ditempuh. Akhirnya ia memutuskan menginap di sebuah penginapan sederhana dekat terminal. Murah, sepi, dan terlihat cukup nyaman dari luar.
Resepsionis yang duduk di balik meja menatapnya dengan ekspresi datar. Setelah menerima uang, pria itu menyerahkan sebuah kunci.
"Nomor tujuh, lantai dua," katanya singkat, tanpa senyum.
Lorong menuju kamar nomor tujuh terasa aneh. Lampu redup berkedip-kedip, cat dinding terkelupas, dan udara pengap menyelimuti. Dina mencoba menenangkan diri. "Namanya juga penginapan murah," pikirnya.
Begitu pintu kamar terbuka, hawa dingin langsung menyambut. Kasurnya tampak rapi, lemari kayu tua berdiri di pojok ruangan, dan jendela kecil berderit ketika ia membukanya. Meski terasa agak menyeramkan, Dina terlalu lelah untuk peduli. Ia rebah, berharap cepat tertidur.
Namun, sekitar tengah malam, ia terbangun oleh suara ketukan pelan. Tok... tok... tok...
Sumber suara itu jelas berasal dari lemari. Dina bangkit perlahan, berusaha menepis rasa takut. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu lemari. Kosong. Hanya gantungan baju yang berayun pelan seakan digerakkan angin.
"Pikiran sendiri," bisiknya, lalu kembali ke kasur.
Tapi saat matanya hampir terpejam, ia merasakan sesuatu yang dingin di pipinya. Saat menoleh, Dina terbelalak. Di atas bantalnya ada rambut panjang basah, kusut dan hitam, seolah baru dipotong dari kepala seseorang. Bau anyir samar tercium.
Belum sempat ia bergerak, suara ketukan kembali terdengar. Kali ini bukan dari lemari, melainkan dari bawah ranjang. Lebih keras, lebih cepat. Tok! Tok! Tok!