Masyarakat yang Merindukan Solidaritas di Tengah Fragmentasi
Kehidupan sosial kita hari ini terasa penuh paradoks. Di satu sisi, teknologi menyatukan kita lebih rapat dari sebelumnya, segala hal bisa terhubung hanya dalam genggaman. Namun di sisi lain, kehidupan justru terbelah ke dalam ruang-ruang fragmentasi: kelas sosial yang makin lebar, jurang kaya-miskin yang makin dalam, polarisasi politik yang menajam, bahkan perpecahan identitas yang menutup ruang solidaritas.
Masyarakat hidup bersama dalam satu negara, tetapi tidak benar-benar merasa hidup bersama.
Karl Marx, dalam kritiknya terhadap masyarakat industri abad ke-19, pernah mengingatkan bahwa struktur sosial yang dibangun di atas kepemilikan dan modal akan menimbulkan keterasingan (alienasi). Manusia tercerabut dari sesamanya, dari kerjanya, bahkan dari dirinya sendiri.
Meskipun konteksnya adalah Eropa pada abad lampau, resonansi kritik itu masih terasa di sini, di abad ke-21. Kita menyaksikan bagaimana kerja tidak lagi membawa martabat, tetapi sering kali hanya menjadi upaya bertahan hidup. Tenaga dihabiskan, waktu digerus, namun upah nyaris tidak sebanding dengan ongkos hidup.
Sutan Sjahrir, tokoh yang sering dilabeli sebagai intelektual yang terlalu "idealis", justru menangkap keresahan yang sama ketika berbicara tentang demokrasi dan sosialisme. Ia menekankan pentingnya kebebasan politik yang sejati, namun juga melihat bahwa kebebasan itu kosong jika tidak ditopang oleh keadilan sosial.
Demokrasi tanpa solidaritas akan melahirkan apa yang ia sebut sebagai "tirani mayoritas" atau bahkan "tirani pasar". Kritiknya hingga kini masih terasa segar, kita memang hidup dalam formalitas demokrasi, tetapi keputusan besar negeri sering kali lebih dipengaruhi oleh segelintir pemilik modal ketimbang suara rakyat banyak.
Di tengah situasi seperti ini, utopia tentang masyarakat yang adil dan egaliter tetap membandel. Orang mungkin mengejek gagasan itu sebagai mimpi usang, tetapi faktanya mimpi itu tidak pernah mati. Justru karena realitas hari ini semakin timpang, utopia itu semakin dibutuhkan sebagai arah moral.
Tan Malaka, dalam karyanya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), menegaskan bahwa pikiran bebas dan kritis adalah senjata utama untuk melawan belenggu. Ia menyadari bahwa rakyat tidak cukup hanya dengan semangat, tetapi butuh kesadaran yang rasional untuk mengubah keadaan.
Hari ini, kesadaran rasional itu terhimpit di tengah derasnya arus informasi yang sering kali memecah-belah. Media sosial, yang seharusnya bisa menjadi ruang diskusi publik, lebih sering berubah menjadi gelanggang pertengkaran identitas.
Wacana solidaritas terpinggirkan oleh politik pecah-belah, di mana yang penting bukanlah kebenaran, melainkan siapa yang lebih lantang atau lebih menguasai algoritma. Fragmentasi ini bukan hanya soal politik, melainkan juga soal sosial: kelompok masyarakat dipisahkan oleh akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Solidaritas hanya menjadi jargon, bukan praktik nyata.
"Ilmu pengetahuan adalah senjata rakyat tertindas; tanpa pikiran yang merdeka, perjuangan hanya akan jadi jeritan." - Tan Malaka
Amir Sjarifudin, seorang tokoh yang tragis dalam sejarah politik Indonesia, adalah contoh bagaimana cita-cita sosial sering berbenturan dengan realitas kekuasaan. Ia percaya pada pentingnya kesetaraan dan keberanian untuk menentang ketidakadilan, tetapi akhirnya tumbang dalam pergulatan politik yang keras. Dari kisahnya kita belajar bahwa solidaritas tidak cukup hanya sebagai slogan, ia membutuhkan keberanian, pengorbanan, dan konsistensi.
Kini, pertanyaannya: mengapa masyarakat merindukan solidaritas? Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita merasakan betapa rapuhnya ikatan sosial. Pandemi, misalnya, membuktikan bahwa ketika krisis datang, yang menyelamatkan kita bukanlah kekuatan individu semata, melainkan gotong royong.
Namun sayangnya, begitu krisis mereda, kita kembali ke pola lama: saling bersaing, saling menyingkirkan, saling curiga. Negara pun kerap absen dalam merawat solidaritas itu, lebih sibuk dengan hitung-hitungan politik jangka pendek ketimbang membangun fondasi kesejahteraan jangka panjang.
Marx menulis bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Kalimat ini sering dipahami terlalu sempit, seakan hanya tentang buruh melawan pemilik modal. Padahal lebih dalam dari itu, ia sedang berbicara tentang ketegangan abadi antara yang berkuasa dan yang dikuasai, antara mereka yang mendapat akses dan yang tersisih.
Fragmentasi sosial kita hari ini, yang terjadi antara elite yang menikmati kemewahan global dan rakyat kecil yang bergelut dengan inflasi harga beras, adalah bukti nyata bahwa perjuangan kelas tidak pernah lenyap.
Sjahrir, Tan Malaka, dan Amir, meski berbeda latar dan strategi, sama-sama mewariskan pesan bahwa solidaritas bukanlah tambahan manis dari kehidupan bernegara, melainkan syarat dasar untuk menjaga keberlangsungan sebuah bangsa.
Tanpa solidaritas, yang ada hanyalah negara sebagai aparat kekuasaan, bukan sebagai wadah bersama. Tanpa solidaritas, demokrasi akan menjadi formalitas kosong yang hanya menguntungkan mereka yang sudah kuat sejak awal.
"Fragmentasi sosial adalah penyakit zaman, dan obatnya bukan nostalgia, melainkan keberanian membangun kebersamaan baru."
Kita sedang hidup dalam masa di mana utopia tampak mustahil, tetapi sekaligus tak tergantikan. Mustahil, karena realitas memperlihatkan betapa kerasnya struktur kekuasaan mempertahankan status quo.
Tak tergantikan, karena tanpa utopia, masyarakat kehilangan arah moral dan politik. Solidaritas yang dirindukan masyarakat hari ini bukan hanya soal berbagi harta, tetapi juga berbagi nasib. Solidaritas adalah keberanian untuk mengakui bahwa nasib orang lain terikat dengan nasib kita sendiri.
Fragmentasi membuat kita seolah hidup dalam dunia yang terpisah-pisah: ada kota megah dengan gedung pencakar langit, ada desa yang kesulitan listrik; ada keluarga yang berlibur ke luar negeri setiap bulan, ada keluarga yang bingung membayar biaya sekolah. Kontras ini bukan sekadar statistik, melainkan luka sosial yang merusak rasa kebersamaan. Tanpa upaya serius mengatasi jurang ini, solidaritas hanya akan tinggal dalam nostalgia.
Di titik inilah, penting untuk membaca kembali warisan pemikiran para pendahulu kita. Marx dengan kritiknya atas alienasi, Sjahrir dengan idealisme demokratisnya, Tan Malaka dengan seruannya pada rasionalitas kritis, Amir dengan pengorbanannya yang pahit, semuanya mengajarkan bahwa solidaritas adalah perjuangan panjang, bukan hadiah yang datang dari langit.
Masyarakat yang merindukan solidaritas di tengah fragmentasi sedang berteriak, meski dengan suara lirih: mereka ingin negara yang hadir bukan hanya sebagai birokrasi, tapi sebagai penjamin keadilan. Mereka ingin politik yang bukan sekadar perebutan kursi, tapi sebagai sarana memperkuat kebersamaan. Mereka ingin ekonomi yang bukan hanya angka pertumbuhan, tapi sebagai cara memastikan tak ada yang ditinggalkan.
Solidaritas bukan utopia yang mustahil, ia adalah kebutuhan yang mendesak. Tanpa solidaritas, bangsa apa pun akan pecah oleh fragmentasi. Dengan solidaritas, utopia yang membandel itu bisa menjadi inspirasi nyata. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita membutuhkan solidaritas, melainkan apakah kita berani memperjuangkannya, meski dengan segala risiko.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI