Mohon tunggu...
Auliya Ahda Wannura
Auliya Ahda Wannura Mohon Tunggu... Penulis

Seorang Penulis freelance dan solo traveler.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masyarakat yang Merindukan Solidaritas di Tengah Fragmentasi

1 Oktober 2025   07:24 Diperbarui: 1 Oktober 2025   07:24 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana solidaritas terpinggirkan oleh politik pecah-belah, di mana yang penting bukanlah kebenaran, melainkan siapa yang lebih lantang atau lebih menguasai algoritma. Fragmentasi ini bukan hanya soal politik, melainkan juga soal sosial: kelompok masyarakat dipisahkan oleh akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Solidaritas hanya menjadi jargon, bukan praktik nyata.

"Ilmu pengetahuan adalah senjata rakyat tertindas; tanpa pikiran yang merdeka, perjuangan hanya akan jadi jeritan." - Tan Malaka

Amir Sjarifudin, seorang tokoh yang tragis dalam sejarah politik Indonesia, adalah contoh bagaimana cita-cita sosial sering berbenturan dengan realitas kekuasaan. Ia percaya pada pentingnya kesetaraan dan keberanian untuk menentang ketidakadilan, tetapi akhirnya tumbang dalam pergulatan politik yang keras. Dari kisahnya kita belajar bahwa solidaritas tidak cukup hanya sebagai slogan, ia membutuhkan keberanian, pengorbanan, dan konsistensi.

Kini, pertanyaannya: mengapa masyarakat merindukan solidaritas? Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita merasakan betapa rapuhnya ikatan sosial. Pandemi, misalnya, membuktikan bahwa ketika krisis datang, yang menyelamatkan kita bukanlah kekuatan individu semata, melainkan gotong royong.

Namun sayangnya, begitu krisis mereda, kita kembali ke pola lama: saling bersaing, saling menyingkirkan, saling curiga. Negara pun kerap absen dalam merawat solidaritas itu, lebih sibuk dengan hitung-hitungan politik jangka pendek ketimbang membangun fondasi kesejahteraan jangka panjang.

Marx menulis bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Kalimat ini sering dipahami terlalu sempit, seakan hanya tentang buruh melawan pemilik modal. Padahal lebih dalam dari itu, ia sedang berbicara tentang ketegangan abadi antara yang berkuasa dan yang dikuasai, antara mereka yang mendapat akses dan yang tersisih.

Fragmentasi sosial kita hari ini, yang terjadi antara elite yang menikmati kemewahan global dan rakyat kecil yang bergelut dengan inflasi harga beras, adalah bukti nyata bahwa perjuangan kelas tidak pernah lenyap.

Sjahrir, Tan Malaka, dan Amir, meski berbeda latar dan strategi, sama-sama mewariskan pesan bahwa solidaritas bukanlah tambahan manis dari kehidupan bernegara, melainkan syarat dasar untuk menjaga keberlangsungan sebuah bangsa.

Tanpa solidaritas, yang ada hanyalah negara sebagai aparat kekuasaan, bukan sebagai wadah bersama. Tanpa solidaritas, demokrasi akan menjadi formalitas kosong yang hanya menguntungkan mereka yang sudah kuat sejak awal.

"Fragmentasi sosial adalah penyakit zaman, dan obatnya bukan nostalgia, melainkan keberanian membangun kebersamaan baru."

Kita sedang hidup dalam masa di mana utopia tampak mustahil, tetapi sekaligus tak tergantikan. Mustahil, karena realitas memperlihatkan betapa kerasnya struktur kekuasaan mempertahankan status quo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun