Artinya, meski negara mendapat pemasukan dari cukai, pengeluaran untuk menutup biaya kesehatan publik sering kali jauh lebih besar. Beban ini akhirnya juga kembali pada masyarakat melalui pajak dan sistem jaminan sosial.
Jika suatu hari rokok menjadi ilegal, tentu pihak industri, pekerja tembakau, dan negara melalui penerimaan cukai akan dirugikan. Tetapi, dari perspektif jangka panjang, kesehatan publik, kualitas hidup masyarakat miskin, dan keberlanjutan sistem kesehatan nasional justru akan sangat diuntungkan.
Rokok dan Jeratan Adiksi
Dari perspektif ekonomi, adiksi terhadap rokok menciptakan pasar yang nyaris abadi. Konsumen yang kecanduan akan terus membeli, meski harga naik karena cukai. Inilah "demand inelastic": kebutuhan yang tidak bisa ditawar, bahkan ketika mengorbankan kebutuhan primer lain. Akibatnya, rumah tangga miskin sering terjebak dalam paradoks: alokasi untuk rokok tetap ada, sementara alokasi untuk gizi, pendidikan, atau kesehatan justru dikorbankan.
Bagi industri, adiksi ini adalah "aset" yang menjamin arus laba stabil, karena permintaan tidak mudah turun. Dengan kata lain, adiksi bukan sekadar masalah kesehatan, melainkan motor ekonomi yang menguntungkan pihak tertentu, sekaligus menjerumuskan kelompok rentan dalam lingkaran kemiskinan.
Dari perspektif sosiologi, rokok bukan hanya konsumsi individual, melainkan praktik sosial. Ia dipelajari sejak remaja melalui proses sosialisasi: dari melihat orang tua, teman sebaya, hingga iklan yang glamor. Rokok lalu menjadi simbol kejantanan, kedewasaan, bahkan solidaritas dalam komunitas. Merokok bersama di warung kopi atau saat istirahat kerja menciptakan rasa kebersamaan, sehingga menolak rokok bisa dianggap menolak kelompok. Di sinilah adiksi diperkuat oleh norma sosial, karena individu tidak hanya kecanduan nikotin, tetapi juga "kecanduan" penerimaan sosial.
Dari perspektif psikologi, nikotin bekerja langsung pada sistem dopamin di otak, menciptakan sensasi tenang dan "reward" instan. Inilah yang membuat rokok sulit ditinggalkan: setiap kali stres, cemas, atau lelah, tubuh "mengingat" nikotin sebagai jalan cepat untuk meredakan beban. Lebih jauh, rokok membentuk siklus perilaku: pemicu (stres, lingkungan sosial), perilaku (merokok), dan ganjaran (rasa tenang sesaat).
Siklus ini lama-kelamaan menciptakan kebiasaan otomatis, sehingga berhenti merokok membutuhkan intervensi psikologis dan medis yang serius. Inilah ironi terbesar: adiksi membuat seseorang merasa memilih secara bebas, padahal pilihannya telah dibatasi oleh ketergantungan biologis dan psikologis.
Dengan demikian, adiksi rokok tidak bisa dipandang hanya sebagai kelemahan individu. Ia adalah konstruksi multidimensi: ekonomi yang diuntungkan, norma sosial yang memperkuat, dan mekanisme psikologis yang mengikat. Inilah wajah nyata dari "perbudakan modern" yang membuat rokok terus bertahan dalam kehidupan masyarakat.
Penyakit yang Bersumber dari Rokok
Secara medis, rokok adalah biang berbagai penyakit mematikan. WHO mencatat jutaan kematian setiap tahun akibat konsumsi tembakau. Kanker paru, kanker mulut, stroke, penyakit jantung koroner, dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) hanyalah sebagian dari daftar panjangnya. Bahkan mereka yang tidak merokok pun tidak luput: perokok pasif berisiko tinggi terkena penyakit serupa.
Rokok dan Kehidupan Rumah Tangga
Dalam perspektif sosiologi rumah tangga, rokok menciptakan ketidakseimbangan yang sistematis. Pengeluaran rutin untuk rokok, meski tampak kecil per batang, dalam sebulan bisa melebihi biaya belanja sayur, susu, atau bahkan uang sekolah anak. Pola konsumsi ini memperlihatkan bagaimana adiksi menggeser prioritas keluarga dari kebutuhan esensial ke kebutuhan semu. Anak-anak akhirnya tumbuh dengan gizi minim, rawan stunting, dan kehilangan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Ibu, yang biasanya menjadi pengelola kebutuhan rumah tangga, dipaksa mengatur anggaran dalam kondisi timpang, sembari terpapar asap rokok setiap hari.
Dari sisi psikologi, beban ini melahirkan konflik emosional. Istri merasa kecewa karena kebutuhan keluarga terabaikan, anak merasa tidak diperhatikan, dan suami tetap terjebak dalam lingkaran adiksi. Kondisi ini menciptakan ketegangan laten: pertengkaran kecil, rasa frustrasi, hingga perasaan tidak berdaya. Anak-anak yang tumbuh dalam rumah penuh asap dan konflik emosional berisiko mewarisi pola stres, kecemasan, bahkan perilaku adiktif di kemudian hari. Dengan demikian, rokok bukan sekadar racun biologis, melainkan juga instrumen yang perlahan meruntuhkan fungsi ekonomi, psikologis, dan ikatan sosial dalam keluarga.