Mohon tunggu...
Aulia Vidya Almadana
Aulia Vidya Almadana Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Menjaga asa menjadi kaya

Selanjutnya

Tutup

Money

AFTA 2015: Kejayaan Negara-Negara ASEAN atau Tiongkok?

26 Mei 2015   20:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Singapura, 28 januari 1992 kala pertemuan tingkat kepala negara ASEAN diadakan, sebuah kesepakatan untuk menuju negara-negara ASEAN yang kompetitif serta mempunyai daya saing Internasional disepakati, terakhir Kamboja pada tahun 1997 bergabung. Kesepakatan AFTA ini tidak ubahnya menjadi "jalan tol" negara-negara ASEAN menuju perekononomian yang lebih liberal. Segala hambatan diperkecil bahkan dihilangkan, dengan begitu membuka peluang bagi negara-negara ASEAN untuk melaju kencang layaknya mobil di jalan tol. Perlu dicermati, pengguna jalan tol tersebut tidak hanya dari pihak negara-negara ASEAN, namun negara-negara lain ikut berpartisipasi tak terkecuali Tiongkok.

Tidak masuk akal bila kita menghubungkan secara langsung Tiongkok dengan kesepakatan AFTA, namun apabila kita mau menelusuri ada hubungan tidak langsung diantara keduanya. Pada abad ke-19 sudah banyak imigran Tiongkok yang tinggal dan berdagang komoditas Tiongkok seperti sutera dan porselen di kawasan Asia Tenggara. Menurut D. J. M. Tate dalam jurnalnya "The Making of Modern South East Asia", imigran kebanyakan berasal dari Tiongkok selatan terutama dari Fukien dan Kuantung. Dua kelompok dialek terbesar adalah Teociu sebanyak 32 persen dan Hokkian sebanyak 25 persen.

Jaringan bisnis merupakan modal penting bagi perkembangan bisnis masyarakat Tiongkok. Sebuah jaringan Tiongkok terkoneksi secara nasional bahkan internasional, semisal adanya koneksi yang kuat diantara jaringan Hokkian di Jawa Timur dengan masyarakat Hokkian di daerah Sumatera. Dengan adanya suatu jaringan yang kuat tersebut, masyarakat etnis ataupun keturunan Tiongkok akan lebih mudah memperoleh ilmu bisnis dan terutama modal. Hal itu tergambar dari sejarah sebelum perang dunia, di Malaysia dan Indonesia bank Tiongkok hanya melakukan transaksi bisnis dengan kalangan mereka sendiri. Simbiosis mutualisme benar-benar akan terjadi diantara bank-bank dengan para saudagar Tionghoa di kawasan Asia Tenggara.

Sejak dulu masyarakat etnis Tionghoa ataupun keturunannya sudah menguasai beberapa sektor bisnis di Asia Tenggara. Sebagai contoh di Indonesia sendiri kita mengenal Liem Sioe Liong yang berhasil membangun kompleks semen terbesar di Asia pada tahun 1987. Liem memiliki kemampuan untuk mendapatkan dana dari bank-bank negara. Bahkan setelah pabriknya mengalami kelebihan kapasitas, Liem dapat meyakinkan pemerintah untuk meringankan biaya pembayaran bunga. Dengan adanya sejarah panjang bangsa Tiongkok di ASEAN, kemampuan dalam bisnis yang berkembang, serta adanya koneksi yang kuat dari pemerintah, masyarakat Tionghoa amat mudah dalam melakukan ekspansi bisnis di wilayah lain terutama Asia Tenggara, terlebih ditunjang dengan sistem kekerabatan sesama etnis Tionghoa yang cenderung kuat memungkinkan negara Tiongkok akan memanfaatkan kelebihan tersebut.

Sejarah yang telah mengakar serta tradisi masyarakat Tiongkok yang kuat akan meminimalisir terealisasinya idiom "kacang lupa akan kulitnya". Sistem kekerabatan yang kuat merupakan kunci utama dalam membangun dinasti bisnis. Tentu tidak hanya sistem kekerabatan semata yang selalu didorong, namun ada faktor lain yang harus selalu dikaitkan pada sistem kekerabatan, yaitu shinyung (layak dipercaya). Shinyung bukanlah aura yang telah melekat pada seseorang semenjak lahir, namun suatu kepercayaan yang akan terbentuk setelah mengalami banyak gejolak dalam karir. Namun shinyung akan cepat sirna apabila orang tersebut melakukan suatu pelanggaran dalam koneksi bisnisnya seperti penipuan.

Masyarakat Indonesia dalam menjalankan AFTA bisa mencontoh dan menginternalisasi sistem kekerabatan Tiongkok yang dilingkupi shinyung. Perasaan shinyung akan menggerus keinginan per individu untuk melakukan kecurangan, karena konsekuensi berat yang ditawarkan apabila shinyung dinodai. Perputaran produk, modal, dan SDM akan terlampau cepat saat AFTA dilaksanakan. Terakhir kita sendiri yang akan memutuskan, internalisasi pola pikir atau komoditas Tiongkok.

Daftar Pustaka:


  1. Kunio, Yoshihara. 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: 1990.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun