Belakangan ini, publik ramai memperdebatkan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang membuka peluang bagi Warga Negara Asing (WNA) untuk menjadi direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagian menilai kebijakan ini sebagai langkah maju menuju standar global dan profesionalisme. Namun sebagian lain khawatir terhadap kedaulatan ekonomi nasional dan nasib tenaga kerja lokal.
Debat mengenai kehadiran Warga Negara Asing (WNA) di jajaran direksi BUMN dapat dipahami melalui teori Uncertainty-Identity Theory, di mana kebijakan ini menciptakan ketidakpastian terhadap identitas nasional. BUMN yang selama ini dipandang sebagai simbol kedaulatan ekonomi tiba-tiba terbuka untuk kepemimpinan asing, memicu respons defensif dari sebagian masyarakat. Reaksi penolakan yang muncul di media sosial bisa dipahami sebagai upaya psikologis masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menegaskan kembali identitas kebangsaannya. Dengan kata lain, ketika struktur ekonomi berubah, rasa "siapa kita sebagai bangsa" ikut terusik, dan masyarakat berusaha mempertahankannya melalui sikap nasionalistik.
Dinamika Social Comparison Theory juga tampak ketika masyarakat secara alamiah membandingkan kompetensi SDM Indonesia dengan negara lain seperti Singapura atau Malaysia. Dalam isu ini, masyarakat mungkin membandingkan kompetensi tenaga kerja lokal dengan ekspatriat asing yang dianggap lebih profesional. Jika hasil perbandingan itu dirasa tidak menguntungkan bagi kelompok sendiri, akan muncul perasaan inferior dan reaksi defensif, seperti penolakan atau kecaman terhadap kebijakan tersebut. Sebaliknya, pendukung kebijakan mungkin memandang perbandingan itu sebagai peluang untuk belajar dan memperbaiki kualitas SDM lokal. Dengan demikian, konflik opini di masyarakat sebenarnya berakar pada proses pembandingan sosial yang berbeda orientasi antara rasa terancam dan dorongan untuk berkembang.
Lalu, pada Need-to-Belong Theory manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk menjadi bagian dari kelompok dan mendapat pengakuan sosial. Dalam isu ini, perdebatan keras di dunia maya menunjukkan bahwa masyarakat ingin suara mereka diakui dalam proses kebijakan publik. Menolak atau mendukung kebijakan bukan hanya soal ideologi, tapi juga cara untuk merasa "terlibat" dalam identitas nasional. Masyarakat yang khawatir kehilangan jati diri bangsa sebenarnya sedang mengekspresikan kebutuhan untuk tetap menjadi bagian dari komunitas Indonesia yang berdaulat. Kebutuhan ini wajar, karena rasa memiliki terhadap kelompok memberikan makna dan kestabilan psikologis di tengah arus globalisasi.
Pro dan kontra terhadap WNA di BUMN bukan sekadar perbedaan pandangan ekonomi, tetapi merupakan cerminan dinamika psikologis yang kompleks dalam masyarakat antara kebutuhan akan stabilitas identitas dan keterbukaan global. Melalui lensa psikologi sosial, kita memahami bahwa resistensi publik muncul bukan hanya karena nasionalisme, tetapi juga karena ketidakpastian identitas, perbandingan sosial, dan kebutuhan untuk merasa memiliki. Oleh karena itu, kebijakan yang melibatkan tenaga asing sebaiknya disertai dengan komunikasi publik yang transparan dan inklusif, agar masyarakat dapat merasa aman, dihargai, dan menjadi bagian dari perubahan bukan korban dari globalisasi.
Aulia Shafa Kartika Husain
Mahasiswa Magister Sains Psikologi
Universtitas Brawijaya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI