Mohon tunggu...
Aulia Febrina Maharani
Aulia Febrina Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Hobi menggambar dan tertarik mengenai dunia science dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Money

Peluang dan Tantangan Presidensi G20 Indonesia dalam Krisis Global Multidimensional akibat Perang Rusia dan Ukraina

21 Juni 2022   21:42 Diperbarui: 29 Juni 2022   09:18 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh : Aulia Febrina Maharani *)

Akhir-akhir ini marak diperbincangkan perang antara Rusia dan Ukraina yang dapat memicu pecahnya perang dunia ketiga. Isu serangan Rusia ke Ukraina sudah mulai muncul sejak November 2021. Perang tersebut telah menarik perhatian dunia dan menjadi topik perbincangan hangat hingga saat ini. Sebagai konsekuensinya, timbul krisis multidimensional. Krisis energi, kemanusiaan, politik, keamanan dan krisis ekonomi global muncul dan pamornya mengalahkan krisis akibat pandemi. Menurut Matt Murphy, dikutip dari situs BBC News Service 19 Mei 2022, perang tersebut telah menelorkan krisis ketersediaan pangan global. Fenomena ini memperparah krisis kelaparan di negara-negara miskin yang diakibatkan perubahan iklim dan pendemi. Berdasarkan data PBB, dampak perang ini juga memicu kenaikan harga bahan pangan dunia mencapai 30% dibandingkan waktu yang sama tahun lalu.

Kedua negara yang terlibat konflik merupakan produsen sekaligus menguasai 30% pangsa pasar gandum dunia. Pengurangan pasokan gandum dunia dari kedua negara tersebut ditopang oleh kebijakan baru pemerintah India tentang pelarangan ekspor komoditas tersebut akibat dampak kekeringan yang melanda negaranya. Hal ini semakin memperparah krisis pangan dunia yang dapat memicu tingginya malnutrisi dan angka kematian akibat kelaparan di negara-negara terbelakang.

Krisis ekonomi, energi dan politik juga dipicu oleh adanya embargo, pembekuan asset Rusia di luar negeri, walk out dan aksi boikot oleh anggota NATO sebagai sanksi terhadap Rusia. Namun, aksi-aksi tersebut merupakan bomerang. Rusia adalah negara besar yang berpijak di atas kakinya sendiri. Sebagai konsekuensinya, terjadi pergeseran egoisme Barat yang selama ini dianggap menguasai global. Negara-negera besar seringkali menjadi penginisiasi krisis global tetapi mereka pula yang memainkan peranan penting di atas krisis tersebut. Sejauh ini, krisis kemanusiaan akibat korban perang di Eropa Timur tersebut telah menembus lebih 2.000 jiwa dan 4,4 juta rakyat Ukraina mengungsi.

Indonesia sebagai presidensi G20 memiliki peranan penting untuk ikut andil dalam mengatasi persoalan multidemensional akibat perang Rusia-Ukraina. Ini merupakan peluang dan tantangan yang perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar Indonesia dapat memainkan peranan politik bebas aktifnya di dunia internasional. Sejarah telah terbukti menoreh keberhasilannya secara gemilang di masa lampau, Melalui Konferensi Asia Afrika telah mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Oleh karena itu, pada saat ini dibutuhkan diplomasi bebas aktif yang mengedepankan azas saling hormat-menghormati tanpa adanya ikut campur dalam konflik yang cenderung berat sebelah seperti pemberian bantuan senjata. Pemberian bantuan selayaknya tidak berpihak pada salah satu negara dan tetap berlandaskan nilai kemanusiaan. Negara kita perlu menjaga jarak yang sama antara kedua negara yang bertikai agar dapat berfungsi sebagai balancer dengan baik.

Selain itu, negara-negara NATO yang sering walk out dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh pejabat penting Rusia merupakan fenomena yang perlu disikapi dengan bijaksana. Apalagi ada rencana Amerika Serikat dan sekutunya tidak akan menghadiri KTT G20 mendatang apabila Rusia hadir di dalamnya. Posisi Indonesia seperti makan buah simalakama. Negara besar yang tergabung dalam NATO juga menekan Indonesia agar mengeluarkan Rusia dari keanggotaan G20. Sebagai presidensi G20, Indonesia membutuhkan kedewasaan dalam bertindak. Karena itu, pendekatan secara persuasif terhadap negara-negara anggota NATO sangat diperlukan, agar dapat memahami posisi politik Indonesia dan bersedia menghadiri KTT G20 walaupun adanya kehadiran Rusia. Sebagai ketua, Indonesia sudah tepat yaitu mengundang presiden Rusia untuk hadir dalam pertemuan prestisius tersebut.

Indonesia perlu terus berupaya agar dapat menyakinkan negara-negara anggota NATO untuk hadir pada KTT G20 di Bali. Pertemuan tersebut merupakan momen penting untuk dapat menyelesaikan sengketa antara Rusia dan Ukraina. Penghantaran undangan KTT G20 secara langsung kepada kepala negara terutama adikuasa merupakan salah satu cara diplomatis yang dapat ditempuh. Pendekatan-pendekatan secara kekeluargaan dan kebersamaan dengan tetap menghormati, menghargai dan mengesampingkan ego adalah salah satu cara lainnya. Mengalah untuk meraih sebuah kemenangan perlu menjadi prinsip untuk mencapai tujuan, yaitu menyelesaikan konflik. Pengerahan segala kemampuan diplomatis dalam bernegosiasi para diplomat Indonesia sangat dibutuhkan agar semua rencana dapat berjalan sesuai track. Kita bisa belajar pada gaya Ali Alatas, sebagai diplomat kawakan Indonesia dalam menyelesaikan persoalan dengan negara lain melalui meja perundingan. Langkah Presiden Joko Widodo menemui langsung Presiden Ukraina dan Presiden Rusia dalam situasi peperangan merupakan salah satu strategi diplomatis yang patut diapresiasi.

Apabila Indonesia berhasil menghadirkan Amerika Serikat dan negara-negara NATO yang menjadi anggota G20 serta Ukraina dan Rusia dalam KTT tersebut maka perlu peningkatan jaminan keamanan para pemimpin negara-negara yang hadir untuk menghindari sabotase dan hal-hal yang tidak diinginkan. Pertemuan tingkat tinggi ini tentu mengandung konsekuensi dan beresiko.

Peredaman ketegangan diantara para pemimpin dan pejabat tinggi negara yang bertikai yang hadir dalam KTT G20 perlu dirancang sedemikian rupa. Sajian komedi berkelas terlebih lagi melibatkan Presiden Ukraina sebagai mantan komedian untuk ikut ambil bagian dalam acara jamuan khusus tentu dapat mendinginkan suasana.

Kesuksesan Indonesia menjadi mediator dalam KTT G20 menjadi momentum yang perlu dimanfaatkan dengan baik. Indonesia dapat menjadi negara yang berpotensi menjadi pemimpin dunia apabila dapat menyelesaikan konflik antara Rusia dan Ukraina. Posisi sebagai Ketua Dewan Keamanan PBB bukan mustahil bisa diraih apabila diplomasi tersebut berhasil. Demikian pula hadiah Nobel bisa kita dapatkan jika KKT G20 dapat mendamaikan kedua negara yang bertikai yang berpotensi menjadi pemicu perang dunia ketiga. Semoga harapan bangsa Indonesia dapat tercapai melalui KTT G20, yaitu adanya gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina yang sedang bertikai sehingga krisis multidemsional dapat diredam.

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun