Mohon tunggu...
Audi Yudhasmara
Audi Yudhasmara Mohon Tunggu... General Practitioner RSIA Bunda Jakarta

Bicara seputar kesehatan anak | Pediatric enthusiast 🚀

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan KAI Malam, Perjuangan Nenek Tua Menjemput Cinta

12 Mei 2025   15:53 Diperbarui: 13 Mei 2025   15:09 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama sekali saya tidak naik kereta api, terakhir rasanya saat masih kecil, ketika perjalanan masih penuh kenangan di balik jendela yang berkabut. Selama ini, mudik ke Malang hampir selalu ditempuh dengan mobil pribadi, menghadapi kemacetan panjang, lelah, dan kadang penuh drama. Tapi kali ini, saya dan teman-teman alumni SMA yang bersama merantau di Jakarta memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda mudik ke Malamg,  Kereta eksekutif KA Brawijaya dari Jakarta ke Malang. Sebuah pilihan yang ternyata sangat luarbiasa dan membuat perjalanan menjadi bagian paling menyenangkan dalam perjalanan mudik itu sendiri

KAI Angkutan Lebaran Brawijaya berangkat dari Stasiun Gambir pukul 15.40 WIB dan tiba di Stasiun Malang pukul 04.31 WIB. Waktu tempuhnya memang cukup panjang, sekitar 12 jam 51 menit, tetapi sungguh tidak terasa. Sejak melangkah ke dalam gerbong eksekutif, saya langsung disambut oleh suasana yang bersih, wangi, dan dingin oleh AC yang bekerja dengan tenang. Kursinya empuk dan bisa disandarkan, tersedia colokan listrik di setiap kursi, dan pencahayaan lembut yang membuat suasana seperti di kabin pesawat. Rasanya seperti kembali merasakan dunia kereta dengan sentuhan kemewahan.

Pelayanan dari petugas kereta pun sangat ramah dan profesional. Mereka tidak hanya memeriksa tiket, tetapi juga dengan sigap membantu penumpang yang membutuhkan. Di setiap gerbong juga tersedia layanan makanan yang bisa dipesan langsung dari kursi. Makanan disajikan hangat dan rapi, cocok untuk mengisi perut sebelum malam semakin larut. Selama perjalanan, saya dan teman-teman bisa mengobrol santai, bercanda nostalgia SMA, bahkan sempat tidur nyenyak tanpa terganggu oleh suara mesin atau goyangan berlebihan.

Memilih KAI Angkutan Lebaran 2025 Brawijaya untuk mudik malam hari dari Jakarta ke Malang ternyata adalah keputusan yang tepat. Selain bebas macet dan tidak melelahkan, kami tiba di Malang dalam kondisi segar dan penuh semangat. Fasilitas yang nyaman, suasana bersih dan mewah, serta pelayanan yang ramah membuat pengalaman naik kereta kali ini jauh lebih berkesan dari yang saya bayangkan. Mungkin ini awal dari kebiasaan baru: menikmati perjalanan, bukan sekadar sampai tujuan.

Perjuangan Nenek Tua 

Di perjalanan malam dari Jakarta ke Malang dengan kereta Brawijaya, saya duduk di samping seorang nenek tua, sekitar 65 tahun, yang membawa tas kain lusuh dan mata yang penuh kenangan. Saat kereta mulai bergerak pelan meninggalkan Stasiun Gambir, beliau menyapa saya dengan senyum hangat. Tak lama, obrolan kecil berubah menjadi kisah hidup yang menggetarkan hati. Suaranya bergetar saat bercerita bahwa ia adalah penjual daun pisang di salah satu pasar subuh tradisional di Jakarta. Setiap pagi buta, ia memikul ikatan daun pisang di pundaknya, menjajakan dagangan kepada langganan yang sebagian sudah seperti keluarga sendiri.

Ternyata, sudah tujuh tahun lamanya beliau tidak pulang ke kampung halamannya di Malang Selatan. Sejak kepergian suaminya 4 tahun yang lalu, beliau merantau sendiri ke ibu kota demi sesuap nasi. Hidup sederhana di sebuah kamar petak, jauh dari anak semata wayangnya yang ia titipkan sejak kecil kepada keluarga di desa. Di Jakarta, ia tak punya saudara. Hanya daun pisang, langganan pasar, dan doa yang setia menemaninya setiap hari. "Kadang ibu kangen pulang, Nak. Tapi uang selalu habis buat makan dan bayar kontrakan," ucapnya lirih sambil menatap jendela malam.

Empat tahun yang lalu, nenek kehilangan suaminya yang sangat ia cintai. Kehilangan itu begitu mendalam, namun ia tak punya pilihan selain melanjutkan hidup. Suaminya yang dulu selalu menemaninya dalam setiap langkah, kini hanya tinggal kenangan. Meski hatinya hancur, nenek tak bisa berlama-lama larut dalam kesedihan. Ia tahu, kehidupan harus terus berjalan. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, ia memutuskan untuk tetap bertahan hidup, merantau jauh dari kampung halaman, dan menjadi tulang punggung dirinya sendiri. Suaminya yang sudah tiada meninggalkan kenangan indah, namun nenek tahu, hidup harus terus berlanjut meski tanpa teman sejati di sisinya.

Setiap malam, ketika kesepian datang, ia merindukan suara suaminya, merindukan berbincang bersama dengan suami yang sudah lama tidak ia rasakan. Namun, meski air mata seringkali mengalir di malam sunyi, nenek selalu mengusapnya dan bangkit lagi. Ia tahu bahwa hidup ini adalah perjuangan yang tak bisa dihindari, dan ia memilih untuk terus berjuang meski tanpa pendamping. Kehilangan itu adalah luka, namun juga menjadi kekuatan yang mendorongnya untuk tetap berjalan, bahkan saat dunia seakan tak memberi kesempatan.

Dibantu Pelanggan setia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun