Mohon tunggu...
Lina Rosliana
Lina Rosliana Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga yang hobby menulis, menjahit, menggambar, berenang, jalan kaki dan bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Puisi

LARIIIIIII….! (Awas Jangan Tiru Adegan Ini!)

21 Agustus 2011   01:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:36 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Salah satu tradisi Ramadhan yang tidak bisa hilang sepenuhnya adalah petasan. Tidak bisa dipungkiri, petasan memang identik dengan Ramadhan atau sebaliknya. Meski petasan sudah jelas larangannya dan banyak dilakukan razia, kenyataannya petasan tetap diproduksi dan diperjualbelikan dengan dalih untuk melengkapi kemeriahan Ramadhan yang salah kaprah. Tanpa kita sadari, terkadang kita juga menandai datangnya Ramadhan dengan bunyi petasan, yang membedakannya dengan bulan-bulan lainnya.

Meski membahayakan dan sudah banyak memakan korban, nyatanya petasan memang membawa keasyikan tersendiri bagi anak-anak terutama anak laki-laki. Mereka akan berkompetisi, petasan siapa yang bunyi ledakannya paling keras. Tidak ada hadiah bagi sang juara. Sorak kegirangan itulah hadiah bagi semua yang menyaksikan suguhan ledakan istimewa itu. Akibatnya, saat Ramadhan petasan tetap menjadi primadona bagi anak-anak laki-laki dan menyimpan kenangan tersendiri di hati mereka, seperti yang dialami si bungsu Zharfan.

Malam itu seperti biasa, saat ceramah tarawih, Zharfan bersama kawan-kawannya bermain di jalanan komplek depan mesjid. Tidak lupa mereka menyertakan petasan dalam permainan mereka. Salah satu jenis petasan yang menjadi favorit mereka adalah petasan korek. Petasan itu berbentuk batangan kecil dengan sumbu di ujungnya. Cara menyalakannya dengan menyulut sumbunya lalu dilemparkan sehingga meledak.

Suatu malam, ledakan itu membuat kaget seorang ibu gemuk yang sedang membeli mie goreng. Dia marah dan spontan melemparkan cabe-cabe si penjual mie goreng kepada anak-anak, tapi ternyata tidak membuat anak-anak berhenti meledakkan petasan. Kemarahan si ibu tentu saja semakin meledak melebihi ledakan petasan korek! Ia segera meninggalkan jajanannya lalu berlari mengejar anak-anak. Mereka pun kaget dan berhamburan lari ke segala penjuru. Tapi tubuh ibu yang gemuk itu tentu saja tidak bisa menyaingi kelincahan anak-anak. Larinya pun semakin lambat dan akhirnya terhenti sama sekali dengan nafas ngos-ngosan. Akhirnya dia kembali tanpa hasil, dengan kemarahan dan kekesalan yang semakin besar! Tapi anak-anak bandel itu tidak ada yang berani menampakkan batang hidungnya hingga tarawih berakhir.

Setelah Zharfan selesai menuturkan pengalamannya pada saya yang ia ceritakan dengan bersemangat sambil tertawa-tawa, saya tidak tahu apakah harus ikut tertawa juga atau jatuh kasihan pada nasib si ibu yang mungkin sudah tidak berselera lagi dengan mie gorengnya. Saya membayangkan andai saya yang menjadi ibu yang malang itu… [Telkomsel Ramadhanku]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun