Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

69 Tahun Kemerdekaan, Hanya Sebatas Seremonial!

18 Agustus 2014   09:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:16 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa, setiap tahunnya di hari ke tujuh belas di bulan delapan, seluruh anak bangsa dari republik ini, akan bersuka cita. Seperti biasa pula, mereka merayakan hari kemerdekaan negara ini. Negara kesatuan yang dahulu kala terpecah belah, negara yang direbut dengan peluh, air mata, juga darah oleh para pahlawan dari tangan penjajah. Dan, memang seperti biasa setelah tahun empat lima, lantang kita teriakkan kata Merdeka.

Merdeka?

Di berbagai jejaring sosial, media massa, juga sepanjang jalan yang kulewati hari ini, kulihat jelas gambar sang saka merah putih. Dan seperti setiap tahunnya, angkanya terus berubah. Mereka berkata, kita telah merdeka.

Merdeka? Benarkah kita telah merdeka?

Kurasa, kita belum merdeka. Jika aku mau memakai sang pesimis, mungkinpun kita tak akan pernah merdeka.

"Bicara apa kau?"


Sebentar. Sebelum kalian menamparku. Aku harus menjelaskan terlebih dahulu, apa yang kumaksud. Walaupun tak banyak, tapi inilah yang selalu mengganggu pikiranku.

[caption id="attachment_353518" align="aligncenter" width="570" caption="ninafarida.blogspot.com"][/caption]

Baiklah, bila kau anggap kemerdekaan itu adalah ketika kau dapat bebas pergi ke mana saja tanpa batas dan cemas, itu adalah kemerdekaan pribadi. Tentunya, asalkan kau miliki uang, dunia pun serta merta berada dalam genggamanmu.

Namun, tidak bagi mereka. Mereka yang belum mendapatkan kemerdekaannya hingga tahun dua ribu empat belas ini. Mereka yang masih mengais rezeki dari si kaya. Itu menandakan bahwa kehidupan mereka yang tak pernah sejahtera. Situasi serta kondisi ini begitu sulit. Mungkinpun mereka harus sering-sering berpuasa.

Setelah soal perut, permasalahan barupun menggelayuti mereka. Akibat keterbatasan pundi-pundi rupiah, menyebabkan anak-anak mereka, tak mampu menikmati pendidikan. Memang benar, di kampungnya ada sekolah gratis. Tapi, mengingat rupiah yang tak tercukupi, anak-anak mereka terpaksa bekerja dan merelakan tubuhnya terpapar sinar matahari, tak jarang hujan secara langsung, demi meringankan beban orang tuanya. Anak-anak yang masih kecil, tak pernah makan bangku sekolah. Mereka tak tahu baca-tulis. Mereka Cuma mengerti nominal uang yang mereka hasilkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun