Sama halnya juga yang disampaikan oleh Bang Pendeta (saya memanggil beliau begitu). Cengeng sih saya kalau hal-hal beginian.
Lain lagi ketika menjelang waisak. Oleh seorang penjaga salah satu vihara, saya disarankan mengunjungi Vihara Buddha Tamil yang didominasi warga buddha keturunan India. Sesampai di sana, kebetulan pemuka agamanya sedang tidak ada. Saya ngobrol saja dengan pengurus. Ketika saya minta diajak berkeliling, diajak. Sampai pintu vihara, saya minta masuk.
“Wah, Mbak yakin mau masuk Vihara?” tanyanya.
“Yakin dong. Ayo pak, saya mau masuk. Mau lihat-lihat. Kalau boleh ambil foto,” kata saya.
Entah dia bingung atau mau ngetest saya, dia bilang, “Mbak pakai jilbab lho. Gal takut?”
Mantap saya jawab, “Pak, masuk ke rumah ibadah agama lain selain islam, bukan masalah bagi diri saya pribadi. Kuil, gereja, vihara lain sudah saya masuki. Toh saya Cuma ingin tahu. Iman saya ya tetap islam.”
Dia senyum, dan mempersilakan saya masuk. “Wah, saya baru ketemu orang yang berani seperti Mbak. Saya doakan, semoga mbak tetap jadi muslim yang menghargai sesama.”
Kalau itu sih do’anya, sudah pasti. Maunya kan dido’ain semoga nemu jodoh pas jalan pulang. Pasti langsung saya aminkan.
***
Dominasi tema toleransi, tengah hangat diperbincangkan belakangan ini. Namun bukanlah suatu hal yang baru. Sejak sekolah dasar, kita sudah dicekoki pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Artinya saya dan kita semua, sudah paham apa itu toleransi dan kerukunan. Tinggal mengaplikasikannya saja dalam merawat Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Negara menjamin hak-hak berkehidupan anak bangsa dalam hal beragama. Jadi, mengapa harus ragu bertoleransi demi kerukunan antar anak bangsa?