Mohon tunggu...
Kinar Set
Kinar Set Mohon Tunggu... Pustakawan - rajin dan setia

senang belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebebasan Berbicara dan Batasnya

7 Januari 2019   10:22 Diperbarui: 8 Januari 2019   16:29 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada masa Aufklarung yang terjadi pada tahun 1695 -1815 di mana timbulnya kesadaran bahwa kemajuan ilmu pengetahuan akan membawa "cahaya" atau kemajuan manusia itu sendiri. Aufklarung berasal dari bahasa Jerman yang berarti pencerahan. Dalam bahasa Inggris disebut enlightenment.

Sejak masa itu, kebebasan berbicara penting dalam demokrasi. Di mana rakyat tidak lagi harus bergantung pada kekuasaan pemimpin atau raja yang tiran. Demokrasi memungkinkan rakyat memilih pemimpinnya sendiri.

Karena itu, maka rakyat harus terinformasi dengan baik soal apapun. Dalam konsep demokrasi yang kuno, kekuasaan dianggap tidak berhak atas apa yang dibicarakan apa yang tidak. Jika itu muncul, maka kekuasaan itu dianggap sebagai tirani.

Kondisi ini agak bergeser ketika dunia, khususnya Eropa dan Amerika Serikat mengusung semangat anti diskriminasi. Namun beberapa kejadian seperti Holocaust (pembunuhan terhadap masyarakat Yahudi oleh Nazi) dan kekerasan rasial (semisal terhadap kaum negro di Amerika Serikat) membuat banyak pihak berpikir ulang soal kebebasan berbicara.

Hal itu terjadi karena beberapa konten lebih menonjol ke arah ujaran kebencian. Kekerasan antarmasyarakat timbul karena ujaran kebencian ini. Masa ini dimulai sejak tahun 1920-an sampai tahun 1990.

Beberapa tokoh dan akademisi dunia mulai meregulasi konsep kebebasan berbicara ini. Ada beberapa batasan soal kebebasan berbicara termasuk soal ujaran kebencian. 

Olahan konsep ini agak berbenturan dengan kebebasan berbicara yang sebelumnya dianggap sakral dan agung oleh banyak pihak. Di dua benua itu (Eropa dan Amerika) hal itu sudah berlangsung agak lama dan banyak masyarakat yang paham, terutama Eropa.

Tapi keadaan itu juga tidak menjamin bahwa ujaran kebencian tidak ada di dua benua itu. Jerman dan beberapa negara di Eropa masih berhadapan dengan hal itu ketika iklim politik mulai meningkat, semisal pemilihan pemerintahan baru. 

AS juga begitu. Mungkin masih lekat di benak kita bagaimana Pemilu Amerika Serikat berlangsung. Ujaran-ujaran yang menimbulkan rasa benci meningkat seiring dengan kampanye Presiden Trump kala itu.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia yang punya banyak penduduk seharusnya bersyukur akan perkembangan demokrasi yang berjalan dengan baik di negara ini. Agak berbeda dengan beberapa negara seperti Malaysia, tingkat kesulitan demokrasi kita jauh melampaui negara itu. Hal ini karena bangsa kita jauh lebih besar daripada Malaysia dan jauh lebih plural dibanding mereka. Namun sekaligus, di sinilah titik lemahnya.

Sama dengan perkebangan dunia soal kebebasan berbicara, Indonesia pernah alami masa represi (tekanan) oleh penguasa, dan kemudian muncul gerakan reformasi yang merevisi  sebagian konsep-konsep. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun