Mohon tunggu...
Han
Han Mohon Tunggu... Penulis

Coffee addict.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Mahmoud Darwish: Puisi, Perlawanan, dan Cinta yang Tak Terbatas

23 Maret 2025   05:43 Diperbarui: 23 Maret 2025   05:43 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahmoud Darwish. (Sumber: Pinterest/Abdel Halim Ali Shabana)

Mahmoud Darwish bukan sekadar penyair biasa. Ia adalah suara yang menghidupkan ingatan, simbol perlawanan yang terus menggema, dan penjaga cerita sebuah bangsa. Setiap bait dalam puisinya bukan hanya kisah pribadi, tapi juga gambaran tentang perjuangan, kehilangan, dan harapan. Meskipun namanya sering dikaitkan dengan puisi perlawanan, ada sisi lain dari Darwish yang tak boleh diabaikan: kemampuannya menyatukan cinta dan politik dalam untaian kata yang penuh makna.

Mencari Identitas di Tengah Pengasingan

Lahir di desa Al-Birwa, Galilea, Palestina, pada 13 Maret 1941, Darwish mengalami kehilangan sejak usia muda. Ketika desanya dihancurkan akibat Perang Arab-Israel 1948, keluarganya terpaksa mengungsi, dan sejak saat itu, ia selalu hidup dalam pencarian identitas.

Dalam banyak puisinya, Darwish menggambarkan dirinya sebagai "orang asing di tanah sendiri." Konsep ini mengingatkan pada gagasan Edward Said tentang otherness, di mana identitas seseorang sering didefinisikan oleh kuasa yang lebih besar. Namun, Darwish tak sekadar meratapi keterasingannya. Ia justru mengubahnya menjadi sumber kekuatan kreatif, menjadikan pengasingan sebagai bahan bakar bagi puisinya.

Puisi sebagai Bentuk Perlawanan

Banyak yang melihat puisi Darwish sebagai senjata dalam perlawanan, tapi bukan dalam arti konfrontatif. Sastra, seperti yang dijelaskan Barbara Harlow dalam Resistance Literature (1987), bisa menjadi alat yang membangun kesadaran dan solidaritas tanpa kekerasan.

Darwish memahami hal ini dengan baik. Dalam puisinya Identity Card (1964), ia menantang stereotip dengan kalimat tegas: "Tuliskan! Saya seorang Arab." Ungkapan sederhana ini menjadi suara lantang bagi mereka yang merasa terpinggirkan, bukan hanya di Palestina tetapi juga di belahan dunia lain.

Cinta yang Tak Terbatas oleh Batas Geografis

Selain dikenal sebagai penyair perlawanan, Darwish juga adalah penyair cinta. Tapi cintanya tak sebatas kisah romansa. Ia menulis tentang cinta terhadap tanah air, kehidupan, dan kemanusiaan dengan intensitas yang sama.

Dalam Mural (2000), yang ia tulis setelah mengalami serangan jantung, Darwish merenungkan kematian dan keabadian. Ia berkata, "Aku mencintaimu dalam segala yang aku lihat, dan aku melihatmu dalam segala yang aku cintai." Baginya, cinta bukan hanya perasaan personal, tetapi juga sesuatu yang bisa menghubungkan manusia dengan hal-hal yang lebih besar.

Najat Rahman dalam Literary Disinheritance (2008) menyebutkan bahwa Darwish menggunakan metafora cinta untuk membangun jembatan antara pengalaman pribadi dan realitas sosial-politik. Dengan kata lain, bagi Darwish, cinta bukan pelarian, melainkan cara memahami dan mengubah dunia.

Keunikan Darwish: Perpaduan yang Kontras

Salah satu hal yang membuat Darwish istimewa adalah kemampuannya merangkai hal-hal yang tampak berlawanan: cinta dan perjuangan, keindahan dan duka, yang personal dan yang kolektif. Puisinya bukan sekadar tentang Palestina; ia berbicara tentang manusia secara universal.

Terri DeYoung dalam Mahmoud Darwish: The Poet's Art and His Nation (2014) menulis bahwa Darwish memiliki bakat luar biasa dalam "mengubah penderitaan menjadi keindahan, dan keindahan menjadi kekuatan."

Warisan yang Tak Akan Padam

Mahmoud Darwish wafat pada 2008, tapi puisinya tetap hidup, terus dibaca dan dikutip hingga hari ini. Warisan yang ia tinggalkan tidak hanya penting bagi rakyat Palestina, tetapi juga bagi siapa pun yang percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.

Di tengah ketidakadilan yang masih terus terjadi, puisi-puisinya mengingatkan kita bahwa seni dan kemanusiaan adalah senjata yang paling ampuh. Saat membaca Darwish, kita tidak hanya membaca tentang Palestina, tetapi juga tentang diri kita sendiri---tentang kerinduan akan keadilan dan cinta yang melampaui batas apa pun.

Seperti yang pernah ia tulis, "Kita memiliki pada puisi ini sebuah negara, dan negara ini memiliki kita."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun