Mahmoud Darwish bukan sekadar penyair biasa. Ia adalah suara yang menghidupkan ingatan, simbol perlawanan yang terus menggema, dan penjaga cerita sebuah bangsa. Setiap bait dalam puisinya bukan hanya kisah pribadi, tapi juga gambaran tentang perjuangan, kehilangan, dan harapan. Meskipun namanya sering dikaitkan dengan puisi perlawanan, ada sisi lain dari Darwish yang tak boleh diabaikan: kemampuannya menyatukan cinta dan politik dalam untaian kata yang penuh makna.
Mencari Identitas di Tengah Pengasingan
Lahir di desa Al-Birwa, Galilea, Palestina, pada 13 Maret 1941, Darwish mengalami kehilangan sejak usia muda. Ketika desanya dihancurkan akibat Perang Arab-Israel 1948, keluarganya terpaksa mengungsi, dan sejak saat itu, ia selalu hidup dalam pencarian identitas.
Dalam banyak puisinya, Darwish menggambarkan dirinya sebagai "orang asing di tanah sendiri." Konsep ini mengingatkan pada gagasan Edward Said tentang otherness, di mana identitas seseorang sering didefinisikan oleh kuasa yang lebih besar. Namun, Darwish tak sekadar meratapi keterasingannya. Ia justru mengubahnya menjadi sumber kekuatan kreatif, menjadikan pengasingan sebagai bahan bakar bagi puisinya.
Puisi sebagai Bentuk Perlawanan
Banyak yang melihat puisi Darwish sebagai senjata dalam perlawanan, tapi bukan dalam arti konfrontatif. Sastra, seperti yang dijelaskan Barbara Harlow dalam Resistance Literature (1987), bisa menjadi alat yang membangun kesadaran dan solidaritas tanpa kekerasan.
Darwish memahami hal ini dengan baik. Dalam puisinya Identity Card (1964), ia menantang stereotip dengan kalimat tegas: "Tuliskan! Saya seorang Arab." Ungkapan sederhana ini menjadi suara lantang bagi mereka yang merasa terpinggirkan, bukan hanya di Palestina tetapi juga di belahan dunia lain.
Cinta yang Tak Terbatas oleh Batas Geografis
Selain dikenal sebagai penyair perlawanan, Darwish juga adalah penyair cinta. Tapi cintanya tak sebatas kisah romansa. Ia menulis tentang cinta terhadap tanah air, kehidupan, dan kemanusiaan dengan intensitas yang sama.
Dalam Mural (2000), yang ia tulis setelah mengalami serangan jantung, Darwish merenungkan kematian dan keabadian. Ia berkata, "Aku mencintaimu dalam segala yang aku lihat, dan aku melihatmu dalam segala yang aku cintai." Baginya, cinta bukan hanya perasaan personal, tetapi juga sesuatu yang bisa menghubungkan manusia dengan hal-hal yang lebih besar.
Najat Rahman dalam Literary Disinheritance (2008) menyebutkan bahwa Darwish menggunakan metafora cinta untuk membangun jembatan antara pengalaman pribadi dan realitas sosial-politik. Dengan kata lain, bagi Darwish, cinta bukan pelarian, melainkan cara memahami dan mengubah dunia.