Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Surat Cinta untuk Sasa

30 Oktober 2020   10:52 Diperbarui: 30 Oktober 2020   11:18 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dear Sasa.

Apa kabar sayang?

Semoga sehat dan dijauhkan dari virus korona.

Oh, ya Sasa. Beberapa hari ini aku lihat foto kamu beredar di berbagai belahan media sosial. Publik atas nama buruh dan mahasiswa mengangkat seribu jempol untukmu. Banjir pujian tak terbendung. Aku juga larut dalam sukacita itu.

Aku mengangkat segelas anggur, meneguk atas nama perjuangan. Jujur aku tak tahu apakah anggur itu manis atau masam. Semua kulakukan untuk memuaskan dahaga atas nama kebenaran yang telah dipenggal di negeri ini.

Sasa. Kita pernah bertemu dalam mimpi yang sama. Hanya dalam mimpi. Aku tahu raga kita tak pernah bersama, duduk bersama membahas isu-isu politik, sosial dan lainnya. Kita mengenakan almamater yang sama atas nama "Maha". Kita seringkali sejalan dalam ideal dan mimpi meski tak pernah sejalan dalam tapak kaki yang sama.

Sasa. Aku meneguk segelas arak untukmu. Rasanya kecut. Wajahku berubah di kala unsur kemasaman di dalamnya menarik urat-urat wajahku. Ada apa dengan apa, siapa dan bagaimana? Selepas anggur manis, arak masam mengubah pola pikirku.

Kita pernah berdebat atas nama kemanusiaan. Aku menggarisbawasi argumen logismu yang mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Saat itu engkau protes terhadapku. Membantah dan membantai opiniku tentang gerakan mahasiswa yang tidak berdasar pada fakta dan data.

Sasa. Kamu tahu tidak? Saat itu siang dan malam aku menatap wajah cantikmu ketika melihat gerakan teman-teman mahasiswa menelanjangkan tindak ketidakadilan di negeri ini. Diam-diam aku menjadi penggemarmu. Tidak hanya soal kecantikanmu tetapi juga kecakapan berpikirmu.

Sasa. Aku mengangkat segelas kopi yang selama ini kuteguk guna menghidupkan kembali nalar berpikirku. Kopi menjadi imun untuk mempertajam pola pikirku. Setelah meneguk hingga tetes terakhir aku melihat ada yang salah dari aksimu dalam beberapa hari ini.

Batinku bertamu ke rumah Ibu Kartini. Dia titip salam untukmu. Ada buku untukmu yang menjadi awal gerakan feminim demi mengangkat kaum wanita sejajar dengan kaum adam. "Habis gelap terbitlah terang," buku Ibu Kartini untukmu, yang katanya Kartini masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun