Langkah kaki membawaku ke perawananmu. Lekuk tubuhmu menggodaku. Aku tak ingin keluar dari kenyamanan ini. Kuputuskan untuk bertahan dekat denganmu. Saat matahari terbit engkau menjadi ibu atas hidupku. Tak ada satu sinar yang mampu membatasi keintiman ini.Â
Suara rindu mengadu saat rasa ingin bercengkrama. Saat semua ingin seperti dulu ada yang berubah darimu. Aku ingat air matamu jatuh saat aku pergi. Tak ada yang bisa melindungi dirimu lagi. Banyak tangan jahil yang menikungimu. Mereka mengoyak isi dalammu. Aku tahu engkau marah. Mereka menelanjangimu dalam ego dan nafsu.Â
Engkau marah tapi kapan. Mungkin ini saatnya engkau melampiaskan semua. Suara sadar dalam tangis saat engkau murka. Air mata tumpah di atas batu dari diri tak berdosa. Mereka mewakili ketelanjangan manusia pendosa yang dengan degil menyayat isi hatimu.Â
Aku tak bisa meredahkan amarahmu. Itu semua bukan salahmu. Hanya saja kami yang tak sadar dan tahu apa yang kami perbuat. Mungkin sepantasnya demikian engkau bergejolak. Kami butuh disapa dengan sebuah teguran yang merong-rong keegoan ini.Â
Satu doaku untukmu. Berhentilah marah. Tumbuhkanlah benih cinta yang kita hidupi bersama. Aku ingin menjadikanmu taman bermain terbaikku. Semua jejak langkahku hilang tersapu bencana ini. Ini bukan salahmu. Jangan bersedih. Ini salah kami yang tak tahu mengontrol nafsu.Â
Seandainya engkau masih perawan hujan tak mungkin menjungkirbalikan kami. Kami terlalu hina bermain atas dirimu. Kami sadar inilah sisi gelap manusia. Aku rindu bercumbu denganmu lagi alamku. Rindu saat aku merasa nyaman dengan keperawananmu yang dulu. Tetaplah menjadi teman bermainku.
Untuk bencana di negeri ini
#Papua #NTT
Yogyakarta, 18 Maret 2019