Sebagai manusia, kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang mampu hidup sepenuhnya sendiri tanpa kehadiran orang lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat, relasi dengan sahabat, keluarga, dan tetangga menjadi bagian penting dalam membentuk kehidupan yang harmonis dan saling menopang. Ketika seseorang mengalami kesulitan atau permasalahan, secara kodrati kita terdorong untuk menunjukkan simpati dan empati.
Tindakan simpati dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk: memberi dukungan moral, mendengarkan keluh kesah, memberikan bantuan materiil, atau sekadar hadir sebagai tanda kepedulian.
Kehadiran dalam momen-momen sulit, seperti saat sahabat, keluarga atau tetangga mengalami duka, merupakan wujud nyata dari kasih dan solidaritas kemanusiaan.
Dalam tradisi iman Kristen, tindakan saling menghibur dan mendoakan keluarga yang sedang berduka merupakan panggilan kasih yang luhur. Firman Tuhan mengajarkan untuk saling menanggung beban, agar setiap orang tidak merasa berjalan sendiri di tengah penderitaan.
Idealnya, masyarakat dan keluarga besar dapat saling menerima uluran tangan dengan hati terbuka, tanpa prasangka dan ketakutan yang tidak berdasar.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sering kali berbeda dari idealitas tersebut. Niat baik kita tidak selalu diterima atau dipahami dengan cara yang sama oleh orang lain. Terkadang, tindakan simpatik yang tulus justru disalahartikan, dicurigai, atau bahkan ditolak.
Dalam konteks budaya dan kepercayaan masyarakat tertentu, masih ada anggapan-anggapan atau keyakinan yang bisa mengaburkan makna sebenarnya dari sebuah tindakan kasih. Misalnya, kehadiran seseorang untuk memberikan doa atau penghiburan saat keluarga sedang berduka, yang seharusnya menjadi wujud empati, justru bisa ditanggapi dengan penolakan atau rasa curiga.
Faktor perbedaan cara pandang, pengalaman masa lalu, serta ketidaktahuan akan makna doa dapat menjadi pemicu kesalahpahaman tersebut. Selain itu, dalam dinamika keluarga besar, terkadang ada ketegangan yang tidak terlihat, seperti konflik internal, perbedaan keyakinan, atau kebiasaan turun-temurun yang kuat, sehingga niat baik tidak selalu disambut dengan tangan terbuka.
Realitas sosial ini menunjukkan bahwa hubungan antar manusia tidak selalu berjalan mulus seperti yang diidealkan. Kebaikan hati tidak menjamin penerimaan yang baik, sebab penerimaan sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan kondisi emosional pihak lain.
Hal ini menjadi tantangan bagi setiap individu untuk tetap berbuat baik meski respons yang diterima tidak sesuai harapan.
Penulis hari ini mengunjungi sebuah keluarga yang sedang berduka. Seperti biasanya, penulis setiap kali mendengar kabar duka, tindakan spontan yang muncul adalah menunjukkan empati melalui kehadiran, sapaan hangat, serta mengajak keluarga yang ditinggalkan untuk berdoa bersama. Apalagi jika penulis mengetahui bahwa keluarga tersebut sama-sama percaya pada Yesus sebagai Tuhan.
Bagi penulis, berdoa bagi keluarga yang ditinngalkan merupakan bentuk penghiburan rohani. Keluarga yang berduka untuk diingatkan akan pengharapan yang sejati, bahwa kekuatan yang sejati datang dari Tuhan yang penuh kasih.
Melalui doa, keluarga yang sedang berduka juga diajak untuk menyerahkan segala kesedihan dan kehilangan kepada Tuhan yang sanggup menghibur dan menopang mereka.
Namun, ajakan penulis kali ini untuk berdoa ternyata mendapat penolakan dari pihak keluarga yang berduka. Alasannya cukup mengejutkan: mereka khawatir bahwa takut doa bisa "bertimpa." Alasan ini terdengar lucu dan tidak masuk akal menurut hemat penulis. Penolakan tersebut bukan hanya menunjukkan kesalahpahaman terhadap makna doa, tetapi juga memperlihatkan adanya ketakutan yang tidak berdasar.
Dalam momen itu, penulis memilih untuk tetap menunjukkan sikap hormat, dan tidak memaksakan kehendak penulis, namun dalam hati tetap berdoa agar keluarga tersebut dikuatkan.
Peristiwa ini menjadi contoh nyata bagaimana niat baik tidak selalu diterima sebagaimana mestinya. Penolakan tersebut bukanlah cermin kegagalan dalam berbuat baik, tetapi tantangan untuk tetap tulus meski tidak dihargai. Di sisi lain, peristiwa ini mengingatkan bahwa masih banyak ruang edukasi iman yang perlu dilakukan agar masyarakat dapat memahami makna doa secara benar.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia seharusnya hidup dalam semangat saling menopang, terutama di saat-saat sulit seperti masa duka. Idealnya, tindakan simpati dan empati menjadi jembatan untuk mempererat relasi sosial.
Namun, realitas tidak selalu seindah harapan. Niat baik sering kali berbenturan dengan cara pandang, kepercayaan, atau kebiasaan lokal yang berbeda.
Penolakan terhadap ajakan doa dalam peristiwa duka yang dialami penulis mencerminkan ketegangan antara nilai iman dan tradisi sosial yang belum sepenuhnya sejalan.
Situasi ini mengajarkan bahwa kebaikan tidak boleh berhenti hanya karena ditolak, melainkan harus tetap dilakukan dengan ketulusan dan hikmat. Perlu adanya pendekatan yang bijak dan penuh kasih agar masyarakat dapat lebih memahami makna tindakan iman ke depannya, khususnya doa, bukan sebagai sesuatu yang membawa bahaya, melainkan sebagai sumber penghiburan sejati.
Peristiwa ini juga menjadi refleksi bahwa setiap tindakan kasih memerlukan kesabaran, pengertian, dan kerendahan hati. Dalam menghadapi penolakan, respon terbaik bukanlah perlawanan, tetapi tetap menunjukkan kasih dan menghormati keyakinan orang lain, sembari menjadi teladan iman yang hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
