Tak ada ruang hampa dalam kehidupan semesta. Begitu tesis ilmuwan fisika. Setiap ruang itu memiliki struktur zat yang berbeda untuk menyesuaikan wujud-bentuknya.Â
Kepercayaan terhadap adanya benda mati dalam struktur fisika selain benda hidup adalah suatu hal yang sangat keliru dan menyesatkan publik luas.Â
Kepercayaan adanya struktur benda mati itu, telah memberikan ruang terbuka lebar bagi kaum kapitalis dan juga oligarkis untuk melakukan aneksasi atau merusak lingkungan (alam) hidup disuatu wilayah dan negara, sehingga tidak mengherankan jika terjadi peristiwa tanah longsor, banjir besar, dan seterusnya.
Seorang sejarahwan, Hegel, dengan tajam dan bagus telah membuat suatu teori tentang "Dialektika". Bahwa setiap ruang itu memiliki tesa sejarah, antitesa sejarah dan sintesa sejarah. Dan menurut Hegel, dialektika itu akan selesai dan terhenti ketika menjelmanya Kesempurnaan. Roh Mutlak.Â
Dengan kata lain, bahwa (proses) kebudayaan tidaklah berlaku tunggal dan universal. Karena sejarah menjelaskan, bahwa kebudayaan material dengan kebudayaan spiritual senantiasa berdialektika mengisi ruang dan waktu didalam kehidupan manusia.Â
Ketika kita manusia berbicara tentang kebudayaan, maka kita juga berbicara tentang ruang. Inheren. Kita membutuhkan suatu ruang apresiasi untuk mengekpresikannya.Â
Sehingga kelak, ruang publik  dapat menjelma menjadi suatu ruang budaya. Dan didalam proses itu, ruang publik  tidak boleh direduksi hanya pada satu ruang, yakni ruang yang dibangun oleh pemerintah ansich.Â
Karena (terkesan) ada suatu usaha untuk mereduksi suatu ruang seni dan budaya itu kedalam satu ruang Dewan Kesenian, tak terkecuali ruang seni budaya Taman Ismail Marzuki.Â
Identifikasi seorang seniman dan budayawan tidak bisa dilakukan dengan suatu pendekatan ruang formal-pemerintahan. Karena (rentan) konsekwensinya akan dapat memasung, dan bahkan dapat mematikan kreatifitas para seniman dan budayawan itu sendiri.
MERABA ARAH KEBUDAYAANÂ