Kasus yang menjerat Silvester Matutina adalah kasus fitnah terhadap Jusuf Kalla yang telah divonis bersalah di tingkat kasasi Mahkamah Agung pada tahun 2019. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) dan menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Namun, hingga saat ini, putusan tersebut belum dieksekusi.
Penundaan eksekusi putusan inkrah dalam kasus Silvester Matutina merupakan kelalaian yang serius oleh aparat penegak hukum. Hal ini tidak hanya melanggar kewajiban hukum yang ada, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Seorang jaksa memiliki kewajiban mutlak untuk mengeksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Kelalaian dalam menjalankan kewajiban ini, seperti yang diduga terjadi dalam kasus Silvester Matutina, dapat dikenakan sanksi disiplin sesuai dengan peraturan yang berlaku di internal Kejaksaan.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), seorang jaksa terikat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kelalaian atau ketidakprofesionalan dalam melaksanakan tugas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin.
Sanksi disiplin berdasarkan PP ini terbagi menjadi tiga tingkatan:
Hukuman Disiplin Ringan: Berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pernyataan tidak puas secara tertulis. Hukuman Disiplin Sedang: Berupa pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama 6, 9, atau 12 bulan; atau penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun. Hukuman Disiplin Berat: Berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Kelalaian eksekusi putusan yang sudah inkrah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran sedang atau berat, tergantung pada tingkat kesengajaan dan dampaknya. Kejaksaan memiliki aturan internal yang lebih spesifik untuk para jaksa. Salah satunya adalah Kode Perilaku Jaksa. Aturan ini mengatur tentang kewajiban, larangan, dan etika profesi jaksa. Pelanggaran Kode Etik: Kelalaian eksekusi putusan dapat dianggap melanggar kode etik, yaitu tidak menjalankan tugas dengan profesionalisme, integritas, dan tanggung jawab. Sanksi Administratif: Peraturan Kejaksaan juga memungkinkan adanya sanksi administratif, seperti pembebasan sementara dari tugas atau pengalihtugasan ke satuan kerja lain. Sanksi ini bertujuan untuk pembinaan dan perbaikan kinerja. Meskipun jarang, jaksa yang lalai dalam eksekusi putusan juga bisa dijerat pidana jika kelalaian tersebut mengandung unsur penyalahgunaan wewenang. Pasal 421 KUHP: Pasal ini mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh pejabat publik. Jika jaksa terbukti sengaja menunda eksekusi karena motif tertentu, misalnya menerima suap, ia bisa dikenakan pidana.
Hal yang menyebabkan penundaat eksekusi dan bantahannya bisa di katakan :
Klaim Perdamaian: Silvester Matutina mengklaim bahwa ia telah berdamai dengan Jusuf Kalla dan kasusnya sudah selesai. Namun, dalam sistem hukum pidana di Indonesia, perdamaian antara pelaku dan korban tidak serta-merta menghapuskan hukuman pidana, terutama jika kasus tersebut bukan delik aduan yang telah dicabut. Dalam kasus Silvester, putusan sudah inkrah, sehingga eksekusi harus tetap berjalan. Klaim perdamaian ini tidak memiliki kekuatan hukum untuk membatalkan putusan pengadilan.
Mekanisme Hukum yang Mungkin Ada: Satu-satunya cara untuk membatalkan atau menunda eksekusi putusan yang inkrah adalah melalui upaya hukum luar biasa, seperti Peninjauan Kembali (PK). Namun, PK tidak menunda eksekusi, kecuali ada putusan sela dari Mahkamah Agung yang secara khusus menunda eksekusi.
Sikap Kejaksaan: Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sebagai pihak yang berwenang mengeksekusi putusan telah menyatakan akan melakukan pemanggilan dan eksekusi. Namun, penundaan yang terjadi sejak 2019 hingga saat ini menimbulkan pertanyaan besar tentang profesionalisme dan integritas lembaga tersebut.
Kasus Silvester Matutina, terutama terkait penundaan eksekusi putusan yang sudah inkrah, dapat memiliki beberapa dampak hukum yang signifikan dan berpotensi menjadi preseden negatif di masa depan jika tidak diselesaikan dengan baik. Penundaan eksekusi tanpa alasan hukum yang kuat, seperti yang terjadi dalam kasus ini, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap proses hukum. Hal ini berisiko menciptakan persepsi bahwa hukum hanya berlaku bagi kalangan tertentu, sementara yang lain bisa "kebal hukum" atau bisa menunda hukuman sesuka hati. Masyarakat, terutama para terpidana, bisa beranggapan bahwa putusan pengadilan, meskipun sudah inkrah, bisa tidak dijalankan. Ini berpotensi memicu permintaan serupa dari terpidana lain, yang pada akhirnya dapat melemahkan wibawa pengadilan dan penegak hukum. Kasus ini menunjukkan adanya dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 270 KUHAP, yang secara jelas mewajibkan jaksa untuk melaksanakan putusan yang sudah inkrah. Jika aparat penegak hukum sendiri tidak patuh pada aturan yang berlaku
Perhatian publik terhadap kasus ini, yang juga disoroti oleh media, menjadi pengingat pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi jalannya proses hukum. Kasus Silvester bisa menjadi contoh bagaimana pengawasan eksternal oleh Komisi Kejaksaan dan Ombudsman Republik Indonesia menjadi sangat krusial untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai koridor hukum. Secara keseluruhan, kasus Silvester Matutina lebih dari sekadar kasus pidana biasa. Ini adalah ujian bagi sistem peradilan Indonesia, khususnya dalam hal eksekusi putusan. Jika kasus ini diselesaikan dengan tegas dan sesuai aturan, itu akan menjadi penegasan kembali bahwa hukum berlaku untuk semua pihak. Sebaliknya, jika dibiarkan berlarut-larut, kasus ini berpotensi menjadi "bom waktu" yang merusak sendi-sendi kepastian hukum di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI